JAKARTA,PGI.OR.ID-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) selama tahun 2018 telah melakukan penelitian tentang intoleransi dan radikalisme di sembilan provinsi di Indonesia. Temuan kualitatif di sembilan provinsi menunjukkan intoleransi terhadap kelompok agama dan etnik yang berbeda lebih banyak terjadi dalam kehidupan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Temuan akhir Tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI dipaparkan dalam “Seminar Akhir Kegiatan Penelitian: Studi terhadap Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia” yang berlangsung pada, Selasa (4/12), di Jakarta.
Cahyo Pamungkas selaku Ketua Tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI menuturkan, temuan menunjukkan menguatnya sentimen konservatisme agama di masyarakat bukan hanya sebatas ekspresi kultural dan ideologi, namun rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu untuk mendapatkan sumber daya ekonomi maupun politik. “Sebagai contoh adalah penggunaan isu-isu keagamaan dalam kontestasi politik di sejumlah daerah,” jelas Cahyo.
Menurutnya, penggunaan politik identitas yang masif di sejumlah daerah tersebut didukung oleh suatu ekosistem yang mendukung bagi transformasi otoritas keagamaan menjadi otoritas politik. “Hal itu terlihat dari semakin menguatnya lembaga-lembaga atau ormas-ormas keagamaan tertentu dalam ruang publik keagamaan yang dapat memiliki implikasi pada ranah politik,” ujar Cahyo.
Dirinya mengungkapkan, intoleransi dan radikalisme akhirnya tumbuh subur karena beberapa faktor dalam masyarakat. “Mulai dari lemahnya literasi dalam bermedia, fanatisme keagamaan yang tinggi, tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap pemeluk agama lain, serta tingkat sekulerisasi keagamaan yang rendah,” katanya.
Kegiatan penelitian yang merupakan Program Prioritas Nasional Kajian Sumbu Pendek ini mencakup dua kegiatan utama yakni penelitian dan advokasi kebijakan. Kegiatan penelitian terdiri atas pengumpulan data lapangan dan penyusunan output laporan penelitian. Sedangkan kegiatan advokasi kebijakan mencakup kampanye publik. “Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah membangun dan memperkuat narasi-narasi positif mengenai ke-Indonesiaan dan kebangsaan, sekaligus melakukan counter discourse terhadap narasi negatif mengenai intoleransi dan radikalisme berbasiskan agama atau etnisitas,” jelas Cahyo.
Cahyo menerangkan, narasi positif bekerja untuk mengangkat hal-hal spesifik yang hilang akibat generalisasi, memberikan fakta-fakta, serta menempatkan isu yang dikonflikkan oleh narasi negatif dalam konteks kehidupan yang kongkrit. “Tahapan dari kampanye narasi positif adalah mendasarkan bahwa kita sedang bergerak untuk membangun suatu wawasan kebangsaan dan Ke-Indonesia-an yang toleran dan menghargai kebhinekaan. Adapun bahan-bahan kampanye publik membangun narasi positif ke-Indonesia-an menggunakan temuan-temuan hasil penelitian ini,” tutupnya.
Hasil penelitian tersebut menyebutkan 45 responden setuju dan sangat setuju ketika ditanya apakah menerima presiden seagama. Sebanyak 28 responden setuju dan sangat setuju terhadap wali kota atau bupati sesuku. Kemudian 34 persen responden setuju dan sangat setuju dengan kepala desa sesuku dan 48 responden setuju dan sangat setuju terhadap kepala desa seagama. Sebanyak 46 persen setuju dan sangat setuju dengan gubernur seagama dan 47 persen setuju serta sangat setuju dengan wali kota atau bupati seagama.
Temuan lain yang mengkhawatirkan, menurut Cahyo, adalah lebih dari separuh responden setuju terhadap penggunaan kekerasan atas aliran sesat, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 40 persen responden setuju Indonesia menjadi negara Islam.
Pewarta: LIPI.go.id
Editor: Markus Saragih
COPYRIGHT © PGI 2018
Be the first to comment