JAKARTA,PGI.OR.ID-Sejumlah catatan mengenai potret hubungan antaragama, masalah penyiaran agama, hoax di media sosial, pelayaan keagamaan oleh Kemenag dan aliran/paham keagamaan diangkat dalam laporan tahunan kehidupan keagamaan 2017 yang diluncurkan di Hotel Sari Pan Pacifi, Jakarta, Senin (5/3). Laporan ini merupakan upaya Kementerian Agama (Kemenag) memotret isu-isu keagamaan yang berkembang setiap tahunnya. Bagi Prof. Abd Rahman Mas’ud, kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, laporan tahunan ini bertujuan membantu berbagai pihak memahami apa yang sedang terjadi dan antisipasi ke depan.
Dalam pembacaan Abdul Mu’ti (Sekum PP Muhammadiyah), laporan ini lebih terlihat sebagai catatan kinerja Kemenag mengingat di dalamnya memuat berbagai hal terkait tugas, pokok dan, fungsi (Tupoksi) Kemenag. Di sini Mu’ti menilai ada beberapa hal positif dalam kinerja Kemenag, seperti opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan, tingkat kepuasan layanan haji yang tinggi (sekitar 84%) dan ada beberapa bidang yang mendapat perhatian lebih dari Kemenag, misalnya pendidikan agama dan kehidupan umat beragama.
Sekalipun ada perhatian lebih pada kehidupan umat beragama, Mu’ti mengingatkan bahwa indeks kerukunan 2017 mengalami penurunan. Dan di sini, pemerintah daerah dipandang memiliki kontribusi – baik secara aktif (commision), pasif (ommisstion) maupun dalam bentuk pernyataan aktif (condoning) – terhadap kekerasan berbasis agama di berbagai tempat. Ini belum lagi persoalan meningkatnya gerak konservatif dan radikal di kalangan generasi muda, serta proses dialog antaragama yang terkesan serimonial dan kurang melibatkan aktor dan inisiatif masyarakat di tingkat akar rumput.
Bagi Mu’ti, pemerintah diharapkan memberi perhatian pada pendidikan, khususnya terkait penguatan moderatisme keagamaan di dalam kurikulum, memberi perhatian pada kurikulum aliran kepercayaan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama mengingat berbagai “jaringan baru” tengah berkembang di era globalisasi. Dalam konteks ini, menurut Mu’ti, pemerintah perlu berperan untuk memperkuat kelompok moderat di dalam setiap agama; di kalangan Islam, jumlah kelompok moderat mencapai 75%. Penguatan seperti ini dibutuhkan mengingat belakangan ini ruang publik seperti didominasi oleh kalangan konservatif dan radikal.
Asrorun Ni’am Sholeh (Katib Syuriah PBNU), salah satu narasumber dalam acara peluncuran, menilai laporan tahunan yang dikeluarkan Kemenag lebih terlihat sebagai kumpulan peristiwa keagamaan 2017. Di sini Sholeh mengingatkan pemerintah untuk memberi perhatian pada beberapa hal, seperti masalah kejelasan arah kebijakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok minoritas, masalah literasi mengenai zakat, perlunya kejelasan langkah-langkah pemerintah pasca undang-undang produk halal (UU No. 33 Tahun 2014), perbaikan pelayanan haji dan persoalan kontrol pemerintah yang lemah terhadap sejumlah biro perjalanan haji yang bermasalah.
Beberapa peserta yang hadir menyoroti perlunya penambahan data terkait potret kerukunan di Indonesia, masalah pemetaan dan mitigasi wilayah-wilayah hotspot konflik keagamaan, kurangnya data soal penyiaran agama dan problematikanya, masalah metodologi penyusunan laporan dan rendahnya sinergi antarlembaga di pemerintah. (Beril Huliselan)
Be the first to comment