Peraturan Pemerintah (PP) No.61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang membolehkan seorang perempuan yang hamil akibat perkosaan untuk melakukan aborsi mendapat kritikan dari aktivis penyayang kehidupan atau pro-life dan juga Gereja Katolik. Menurut mereka, kehidupan yang dimulai sejak pembuahan harus dijaga.
Pasal 31 dari PP yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli lalu itu menyatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan dan tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
PP tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No.36/2009 tentang Kesehatan. Pasal 75 dari UU ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi dan larangan melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pasal ini lebih lanjut menyatakan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra-tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca-tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
“Aborsi seharusnya tidak dilegalkan. Hanya karena alasan perkosaan lalu kehamilan bisa diaborsi,” kata dr. Angela Nusanta-Abidin dari Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan kepada ucanews.com, Kamis (14/8).
“Perempuan korban perkosaan seharusnya bisa tetap mempertahankan kehamilan tanpa dampak buruk melalui konseling dan pendampingan,” lanjutnya.
Angela mengatakan banyak perempuan yang hamil akibat perkosaan merasa khawatir dengan masa depan anak-anak mereka. “Apakah mereka nanti akan seperti ayah mereka? Di mana mereka tinggal nanti? Inilah pertanyaan yang disampaikan banyak perempuan yang hamil akibat perkosaan. Namun kami solusi. Kami kasih kekuatan dan penghiburan,” katanya.
Menurut Pastor Hibertus Hartana MSF, sekretaris eksekutif Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Gereja Katolik belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait PP baru tersebut.
“Yang perlu dipikirkan juga bahwa janin pun perlu dibina tanpa melihat proses terjadinya. Ada kehidupan yang perlu dijaga sejak pembuahan,” katanya kepada ucanews.com.
Namun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membela PP tersebut dengan mengatakan bahwa aborsi hanya bisa dilakukan dengan syarat tertentu. Ahli medis dan para dokter berhak menentukan.
Pasal 35 dari PP tersebut menyatakan bahwa praktek aborsi yang aman, bermutu dan bertanggungjawab dilakukan oleh dokter sesuai dengan standard dan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri serta atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan.
Katharina R. Lestari, Jakarta
Sumber: ucanews.com
Be the first to comment