Korban Bom Kuningan Gelar Aksi Damai

Sekitar 50 orang korban bom Kuningan yang tergabung dalam Forum Kuningan menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta Selatan, Selasa, untuk memperingati 10 tahun tragedi bom yang menewaskan sembilan orang tersebut.

“Ini adalah bentuk perjuangan kami sebagai korban radikalisme untuk mewujudkan perdamaian di Indonesia,” kata koordinator aksi yang juga salah satu korban bom Sucipto Wibowo.

Dia menambahkan aksi damai yang bertajuk “Aksi Damai Indonesia Semesta” ini juga ingin mengajak masyarakat untuk turut aktif dalam melawan aksi-aksi radikal seperti terorisme.

Aksi damai ini sendiri dimulai dari pukul 10.00 WIB sampai pukul 11.00 WIB. Selain Forum Kuningan, kegiatan ini juga didukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Global Center of Well Being.

Sekitar 40 orang mahasiswa juga berpartisipasi dalam acara ini. Mereka turut membagikan ratusan tangkai bunga mawar merah dan selebaran perdamaian kepada pengguna jalan yang melintas.

Kegiatan seperti ini, menurut mantan anggota Jamaah Islamiyah M. Nasir Abbas, adalah salah satu bentuk menangkal paham-paham terorisme.

“Menangkal paham-paham teror dan deradikalisasi dapat dilakukan dengan menunjukkan kepedulian terhadap sesama dan yang penting sikap toleransi serta menghargai yang lain,” ujar Nasir yang ikut dalam aksi damai tersebut.

Peristiwa bom Kuningan ini sendiri terjadi pada 9 September 2004 sekitar pukul 10.30 WIB di Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Bom meledak dari dalam sebuah mobil menewaskan sembilan orang dan melukai ratusan lainnya.

Presiden SBY setuju penjara khusus untuk napi terorisme

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyetujui gagasan perlunya ada penjara khusus untuk narapidana kasus terorisme. Namun Presiden tidak setuju jika penjara khusus terorisme itu ada di kawasan Indonesian Peace and Security Center (IPSC) Sentul, Bogor.

“Saya putuskan, idenya bagus, diperlukan, tetapi tempatnya di mana kita pikirkan nanti,” kata Presiden  saat meninjau lokasi fasilitas deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) di Kawasan IPSC, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (8/9/2014).

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden menanggapi keinginan Kepala Badan Nasional Pengendalian Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mengenai perlunya penyediaan sel khusus untuk narapidana kasus terorisme karena ada kekhawatiran terjadi rekrutmen teroris di dalam penjara, yang sasarannya bukan hanya narapidana, tapi juga sipir.

Ansyaad menjelaskan, permintaannya itu merupakan amanat sejumlah kepala lembaga masyarakat yang mengharapkan agar para narapidana kasus terorisme dipisahkan dari narapidana perkara lain.

Menurut Ansyaad, saat ini ada 48 sel khusus untuk narapidana kasus terorisme, dan setiap sel bisa diisi tiga narapidana. Ia menjelaskan pula bahwa saat ini ada 28 lembaga pemasyarakatan yang menjadi tempat memenjarakan narapidana kasus terorisme.

Presiden menyatakan sepakat dengan ide pemisahan penempatan narapidana kasus terorisme di dalam penjara.

Namun ia tidak setuju kalau sel-sel untuk para narapidana kasus terorisme dibangun di Kawasan IPSC karena kawasan itu merupakan kawasan untuk pendidikan dan pelatihan untuk pasukan perdamaian maupun umum sehingga justru dapat menimbulkan kerawanan baru.

Presiden Yudhoyono menyarankan agar penjara khusus untuk narapidana kasus terorisme dibangun di tempat lain yang lebih aman dan tidak menimbulkan kerawanan baru.

Namun Presiden juga mengingatkan agar penjara itu nantinya tidak akan seperti Penjara Guantanamo, tempat Amerika Serikat memenjarakan para teroris.

“Kita jelas bukan seperti Guantanamo, jelas bukan sekali. Kita mendukung human rights (hak asasi manusia),” kata Presiden.

Sumber: Antara, satuharapan.com, setkab.go.id

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*