PGI – Jakarta. Dari kacamata kekristenan, pandangan terhadap pelaksanaan hukuman mati tidak sama. Penegasan tersebut disampaikan Ketua Majelis Pertimbangan PGI Pdt. Dr. A.A. Yewangoe, dalam diskusi publik PGI bertajuk Kontroversi Hukuman Mati, di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat, (Jumat (13/2/2015).
Yewangoe mengutip buku karangan Barrett Duke dan Joe Carter yang berjudul,Capital Punishment: An Overview of Christian Perspectives. Dalam buku tersebut dijelaskan hukuman mati di kalangan Kristen, khususnya di Amerika, ditolak oleh aliran gereja-gereja Protestan arus utama, seperti Presbyterian Church in the USA, Gereja-gereja Episkopal, dan gereja-gereja Lutheran. Termasuk juga The United Church of Christ dan banyak gereja Metodis dan gereja Baptis.
Sementara dukungan terhadap hukuman mati kebanyakan berasal dari gereja-gereja yang tergolong pada kelompok Protestan konservatif, termasuk The Southern Baptist Convention, Reformed Christians dan Conservative Baptists.
Dalam buku tersebut juga diungkapkan, bahwa kelompok yang menerima maupun yang menolak hukuman mati mendasarkan argumentasi-argumentasi mereka pada ayat-ayat Alkitab. Dalih yang biasanya dikemukakan, bahwa Yesuspun tidak menghukum perempuan pezinah (Yoh. 8:1-11) ditolak oleh Baptis.
Menurut Baptis, yang ditolak bukannya penerapan hukuman mati, melainkan upaya-upaya para Rabbi dan orang-orang Farisi yang mau menjebak Dia. Tuduhan bahwa hukuman mati adalah ekspresi pembalasan dendam yang bertentangan dengan keadilan Allah sebagaimana diungkapkan di Salib, ditolak oleh Baptis dengan mengatakan bahwa argumen ini didasarkan atas asumsi bahwa pembalasan pribadi di luar hukum membebaskan pemerintah dari tanggungjawab untuk mengimplementasikan hukuman mati.
Setiap individu yang terlibat di dalam pencarian keadilan, apakah hakim, juri, anggota keluarga atau sahabat dari si korban, mestilah pertama-tama menyingkirkan rasa pembalasan dendam pribadi dengan mengakui bahwa si terhukum diciptakan sebagai gambar dan citra Allah (Kej. 1:26-27), dan sedemikian rupa mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia.
Berangkat dari apa yang dipaparkan dalam buku tersebut, Yewangoe melihat persoalan hukuman mati ini tidak hanya ditinjau dari segi bahwa manusia adalah gambar dan citra Allah, melainkan juga dari segi keadilan Allah. “Benar bahwa atas dasar kesegambaran dan kecitraan manusia dengan Allah (Kej.1:26-27), prinsip martabat manusia (dignity of human being) dijabarkan dan dijelaskan,” ujarnya.
Lanjutnya, banyak negara-negara ”Kristen”, dan belakangan menjadi sekuler, yang memperkembangkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dengan bertolak dari sumber Alkitab seperti ini. Tetapi Alkitab bukan sumber satu-satunya. Interpretasi para teolog, di antaranya Thomas Aquino, (1225-1274) juga diperhatikan dengan saksama.
“Ia, antara lain menegaskan, manusia adalah makhluk cerdas yang diperlengkapi dengan kehendak bebas dan kemampuan untuk bergerak sendiri. Di era Pencerahan di Eropa, kita mengenal seorang filsof bernama Immanuel Kant (1724-1084) misalnya. Ia memperkenalkan apa yang disebut categorical imperative. Salah satu rumusannya mengenai manusia berbunyi: “Act so that you treat humanity, whether in your own person or in that of another, always an end and never as a means only,” jelasnya.
Pandangan-pandangan seperti ini, kata Yewangoe, kembali terdengar gaungnya dalam pendapat resmi gereja-gereja, baik Gereja Katolik Roma, maupun gereja-gereja yang tergabung di dalam World Council of Churches (WCC) berbagai ensiklik yang diterbitkan oleh Vatikan mengaitkan prinsip-prinsip martabat manusia tersebut dengan nilai-nilai kemerdekaan dan kesetaraan seperti dalam Pacem in Terris (1963), Dignitatis Humanae (1965). Bahkan Paus Yohanes Paulus II menegaskan, manusia bukan sekadar diciptakan seturut gambar dan citra Allah, tetapi mempunyai nilai intrinsik (intrinsic worth), dan karena itu tidak boleh diganggu-gugat. Ini menjadi bagian dari ajaran Sri Paus tentang ”Kesucian hidup” (sanctity of life).
Pandangan serupa ditemukan pula dalam berbagai dokumen yang dikeluarkan oleh Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC) yang langsung atau tidak langsung ikut mempengaruhi pandangan gereja-gereja di Indonesia. “Tetapi kontra argumen bisa saja dikemukakan. Justru karena menghormati martabat kemanusiaan si korban, maka pelaku kejahatan harus dihukum mati. Saya tidak akan mengulangi argumentasi-argumentasi yang ada di belakangnya. Maka menurut saya, sebagaimana telah disinggung, prinsip keadilan Allah harus dikemukakan. Alkitab mengemukakan dengan cukup terang, bahwa keadilan Allah tidak pernah dipisahkan dari Kasih-Nya. Melalui perjanjian-Nya dengan Abraham, Musa, Daud dan seterusnya Allah memperlihatkan Kasih dan sekaligus mengundang untuk mewujudkan keadilan. Bahkan itulah inti iman Israel, sebagaimana disinyalir oleh John Donahue: The core of Israel’s faith is equated with the doing of justice. The doing of justice is not the application of religious faith, but its substance. Without it, God remains unknown,” papar Yewangoe.
Sebagai demikian, keadilan Allah bukanlah sesuatu yang tergantung di awang-awang, melainkan bersumber dari Kasih-Ntya. Seorang teolog Prostestan, Paul Tillich mengingatkan agar selalu ada keseimbangan antara Kasih (Love), Kekuasaan (Power), dan Keadilan (Justice).
Lebih jauh dijelaskan, prinsip berpikir ini telah diambil-alih oleh gereja-gereja di Indonesia yang tergabung di dalam PGI. Di dalam dokumen Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB). Kata Yewangoe “Tetapi apakah keadilan Allah? Bukankah keadilan ditemukan juga sebagai prinsip di dalam negara-negara merdeka, bahkan di zaman kuno? Kalau Alkitab berbicara mengenai keadilan, maka yang dimaksud bukan sekadar keadilan retributif (retributive justice/iustitia retributiva) atau keadilan distributif (distributive justice/iustitia distributiva), melainkan keadilan kreatif (cretive justice/iustitia creativa). Itulah keadilan yang menciptakan ruang, kesempatan, peluang bagi adanya suatu perubahan.“
Menurut Yewangoe, dalam konteks Israel pada waktu itu, ruang diciptakan bagi yang lemah agar mereka memperoleh kesempatan menjadi kuat. Dalam konteks si terhukum, ruang mestinya juga diciptakan agar yang bersangkutan memperoleh kesempatan memperbaiki dirinya. Kalau kita percaya bahwa penerapan hukuman bukanlah pembalasan dendam (revenge), maka kita juga mesti percaya adanya kemungkinan seseorang dapat memperbaiki dirinya. Allah memberi ruang itu. Dan negara sebagai “pelayan Allah” mestinya juga menciptakan ruang tersebut. Itulah keadilan sebagai pancaran dari Kasih-Nya.
Indonesia Telah Menyimpang
Menilik dari perspektif hukum, Dosen UKI Dr. Mompang Panggabean yang juga menjadi salah satu pembicara dalam diskusi ini mengungkapkan, di Belanda, ancaman pidana mati hanya dikenal dalam Wet Oorlog Strafrecht (1952). Namun berdasarkan amandemen Konstitusi Belanda 17 Februari 1983 ditetapkan bahwa pidana mati tidak lagi dapat dijatuhkan. Peniadaan ancaman pidana mati disebabkan oleh pemikiran bahwa pidana mati dipandang tidak ada kegunaannya dan hampir selalu diberi pengampunan (grasi) oleh pemerintah.
Dikaitkan dengan asas konkordansi, maka dalam hal ancaman pidana mati ini, Indonesia telah menyimpangi asas tersebut, kendati pada 1870 WvS Nederland sudah menghapus pidana mati. Hal ini ditandai oleh adanya unifikasi WvS di Indonesia, yang menghapuskan dualisme WvS pada waktu itu di Nederlandsch-Indie melalui Stb. 1915-732 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918, ternyata pidana mati masih tetap dipertahankan untuk beberapa pasal tertentu.
Penyimpangan terhadap asas konkordansi ini dilakukan karena beberapa alasan, seperti, pertama, daerahnya luas dan terdiri dari berbagai suku bangsa, sehingga perlu adanya sanksi pidana yang menakutkan. Kedua, jumlah polisi untuk wilayah yang begitu luas sangat terbatas sehingga untuk menakut-nakuti diperlukan ancaman pidana mati. Ketiga, setelah Indonesia merdeka, pidana mati masih dipandang relevan, dengan alasan bahwa ancaman pidana mati itu diperlukan oleh suatu negara berkembang.
Lebih jauh Mompang menjelaskan, Di KUHP, KUHP Militer, dan beberapa undang-undang seperti UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pidana mati masih diancamkan dan dilaksanakan menurut UU No. 2/Pnps/1964 tentang cara pelaksanaan pidana mati.
Secara empirik tampak bahwa di Indonesia masih lebih banyak yang termasuk dalam kelompok retensionis, meskipun Amandemen UUD 1945 Pasal 28 I menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, karena itu non-derogable right sifatnya atau merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari teknik perundang-undangan, ada implikasi hukum mendasar bahwa oleh karena konstitusi tidak lagi mengizinkan pidana mati sesuai asas lex superiori derogat legi inferiori maka undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Dengan demikian timbul pemikiran apakah itu tidak berarti bahwa semua produk hukum yang masih mencantumkan pidana mati sebagai ancaman pidana harus diubah atau dibenahi?
“Hal itu mengingatkan kita pada ucapan almarhum Asmara Nababan yang menyatakan, bahwa sudah saatnya esensi dari perubahan konstitusi ini diperdebatkan. Apa masih layak kita menghukum mati seseorang bila UUD 1945 sebagai hukum tertinggi Negara ini menegaskan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” tegas Mompang. (ms)