Kontribusi Pasca SR X Busan Bagi Gerakan Oikoumene di Indonesia

JAKARTA, PGI.OR.ID – Pada Diskusi Bincang Ekumene tersebut, Pdt. Dr. Andreas Yewangoe (Ketua Umum PGI), menjadi pembicara pertama yang memaparkan pokok-pokok penting dokumen Sidang Raya X DGD di Busan. Yewangoe menjelaskan bahwa spirit (roh) dari tema Sidang Raya, “God of life, lead us to justice and peace”, dan dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam keputusan persidangan, ada dalam enam bahan Pemahaman Alkitab (PA) yang disediakan, yakni God of Life, Bible Studies for Peace and Justice, WCC 10th Assembly, Busan 2013.

Yewangoe menyimpulkan bahwa ada beberapa point yang dapat kita, d.h.i. gereja-gereja di Indonesia, tindaklanjuti dari hasil persidangan di Busan, antara lain:

  1. Misi tetap menjadi tugas utama gereja. Misi adalah hakekat (dari) keberadaan gereja. Justru adanya gereja adalah misi itu sendiri. Namun demikian mestinya disadari bahwa “landscapes” yang di dalamnya misi dilakukan sedang mengalami perubahan. Hal itulah yang direkam dalam dokumen Mission and Evangelism in Changing Landscapes. Setidak-tidaknya empat hal disoroti: Spirit of Missions: Breath of Life; Spirit of Liberation: Mission from the Margins; Spirit of Community: Church on the Move; Spirit of Pentacost: Good News for All.
  2. Hal kedua adalah, bahwa kita hidup dalam Roh Pembebasan. Ini mengharuskan kita untuk mengerti misi dengan bertolak dari “tepi” (“Mission from the Margins”). Maksud Allah dengan dunia ini bukanlah untuk menciptakan suatu dunia lain, tetapi menciptakan kembali (re-create) apa yang Allah telah ciptakan di dalam kasih dan kebijaksanaan (wisdom). Tetapi mengapa mesti dari “margins”? Sebab dengan demikianlah kita menghadapi ketidakdilan di dalam kehidupan, gereja, dan misi.
  3. Maknanya bagi Gereja-gereja di Indonesia. Kita semua dipanggil untuk merayakan kehidupan. Maksud misi adalah kepenuhan hidup (Yoh.10:10). Ini kriteria bagi pencapaian di dalam misi. Kita juga menegaskan bahwa misi mulai dengan perbuatan penciptaan Allah dan berlanjut di dalam penciptaan kembali, dengan memeriahkan kuasa Roh Kudus. Spiritualitas adalah sumber energi bagi misi dan bahwa misi di dalam Roh adalah transformatif.
    Beberapa hal yang perlu ditegaskan, bahwa dalam banyak hal dokumen-dokumen keesaan kita di Indonesia kelihatannya berada dalam satu nafas dengan pandangan WCC pada umumnya. Misalnya saja pemahaman mengenai dialog dengan agama lain dan pemahaman mengenai presensia di dalam sebuah masyarakat majemuk. Hal menarik bagi saya adalah, bahwa evangelisasi dilihat sebagai yang mulai dari pinggiran, sebuah konsekuensi berpikir bahwa Injil memang merupakan Injil pembebasan.

Pembicara kedua, Pdt. Dr. Martin L. Sinaga, menyoroti dua dokumen “konvergensi” yang diterima di Busan, yaitu: “The Church: Toward a Common Vision” dan “Together Toward Life: Mission and Evangelism in Changing Lanscapes.”

 Salah satu peserta diskusi bernama Boy Siahaan.

Jeirry Sumampow mengatakan bahwa gerakan ekumene macet karena ada faktor politis dan elitis.

Irma Simanjutak (dari Yakoma-PGI) bertanya bagaimana gerakan ekumene di akar rumput?

Dalam menanggapi gerakan ekumene di Indonesia, Sinaga, menyatakan bahwa:

  1. Menyoal gagasan keesaan gereja, kalau struktur keesaan terlalu longgar, maka kehadiran gereja bisa kurang bernas di tengah dunia, tetapi kalau strukturnya terlalu hierarkis, maka gereja bisa akan habis memikirkan dan mengurusi diri sendiri sampai akhir zaman.
  2. Karena itu, solusi yang perlu dipertimbangkan adalah keesaan gereja yang tampak dalam kebersamaan iman dan karya misional di tengah-tengah kehidupan gereja dan masyarakat.
  3. Gereja-gereja di Indonesia perlu melakukan transformasi lanjutan dengan mengembangkan ekumenisme sebagai teologi interkultural. Mengapa demikian? Sebab “hiper” kontekstualisasi (pasca teologi pietisme-kolonial) teologi gereja-gereja kita telah menciptakan semacam “splendid isolation” (isolasi yang sangat jauh).

Acara Bincang Ekumene Pasca Busan ini diselenggarakan oleh Forum Studi Cempaka (Forsa) yang bekerjasama dengan Yakoma-PGI, Biro Litkom PGI, dan Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jawa Barat. (BTS)

Foto: Dokumentasi Forsa.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*