Akhir September lalu, DPRD Aceh mengesahkan peraturan hukum pidana Islam yang disebut sebagai Qanun Jinayat.
Qanun ini mengatur sejumlah hukuman bagi kejahatan kriminal, seperti pemerkosaan dan kejahatan seksual lain, perbuatan mesum, judi, mabuk-mabukan, hingga mengatur hubungan sejenis (gay dan lesbian). Para pelanggar aturan ini dihukum cambuk antara 10 hingga 150 kali.
Namun, Qanun ini dikritisi karena dianggap tidak manusiawi dan mengabaikan serta merugikan hak-hak perempuan, baik hak politik hingga hak asasi manusia. Diantaranya, pelaku pemerkosaan bisa bebas setelah membela diri dengan bersumpah lima kali.
Mashruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan merasa prihatin dengan pengesahan Qanun Jinayat. “Saya sedih karena Aceh sempat menjadi contoh yang baik bagi pergerakan perempuan,“ ujarnya.
Mashruchah mengaku belajar kepada Ratu Safiatudin yang berhasil memimpin negeri Aceh dengan kebijakan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang penting.
“Tidak hanya bekerja di dalam rumah, tapi juga ada hak-hak ekonomi dan politik perempuan,“ imbuhnya.
Mashruchah menambahkan, Qanun Jinayat yang telah disahkan parlemen setempat sebagai bentuk pengekangan terhadap perempuan, terutama korban perkosaan.
“Karena dalam banyak kasus pemerkosaan itu juga terjadi dalam ruang relasi perkawinan. Itu diatur undang-undang juga. Jadi kasus pemerkosaan bukan hanya dilakukan oleh orang tidak dikenal,” ujarnya.
Dia menambahkan, dari penelitian Komnas Perempuan, banyak korban pemerkosaan terutama yang punya relasi perkawinan atau keluarga akhirnya urung melapor karena diintimidasi pihak keluarga pelaku.
Hal senada juga diutarakan Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Wahidah Rustam.
Menurutnya, setiap orang berhak punya privasi dan mempertahankan hak nya dalam ruang domestik semisal rumah tangga.
“Jadi perempuan bisa membela haknya dan menyatakan keberatan ketika dizalimi meskipun itu oleh suaminya,” ujar Wahidah.
Oleh karena itu, dia beserta LSM lain yang peduli soal perempuan berencana mengajukan petisi menolak pengesahan qanun jinayat ke Kemendagri. “Kami harap Kemendagri menolak pengesahan qanun ini,” ujarnya.
Salah satu pasal yang mengundang banyak kritik adalah soal pengampunan terhadap pelaku pemerkosaan. Dalam qanun itu, pemerkosa bisa bebas bila bersumpah sebanyak 5 kali. Selain itu, korban perkosaan juga terancam dihukum bila tidak disertai bukti saat melapor.
“Itu seperti sudah jatuh tertimpa tangga,” ujar Mashruchah.
Pemprov Aceh lewat juru bicaranya, Murthalamuddin angkat bicara. Murthalamuddin mengatakan, qanun tersebut sudah cocok dengan kultur masyarakat Aceh yang mayoritas Muslim.
Menurut Murthalamuddin, permasalaha hukuman badan di Aceh merupakan salah satu bentuk penegakkan hukum yang tegas.
“Kami akan tetap memberlakukan hukuman cambuk bila sudah ada keputusan pengadilan,” katanya.
Lebih jauh menurutnya, qanun merupakan salah satu wujud dari keistimewaan Aceh pasca perjanjian damai di Helsinski, Finlandia beberapa tahun silam.
“Papua sudah punya keistimewaan dengan budaya Noken-nya, begitu juga Yogya yang bisa punya sultan sekaligus gubernur,” ujarnya. (portalkbr.com)
Be the first to comment