Seorang ustad mempertaruhkan nyawanya, mengambil alih mimbar di Masjid Raya Al-Fattah Ambon dan menyampaikan kotbah damai, bukan khotbah ajakan kekerasan.
Meskipun mendapat ancaman dari kelompok yang bersebarangan dan fanatik, sang ustad berperan penting dalam rekonsilasi konflik Ambon.
Ini adalah salah satu cerita inspiratif dari buku “Carita Orang Basudara“, sebuah buku yang ditulis dari kisah-kisah rekonsiliasi kasus Ambon.
Ihsan Ali Fauzi menceritakan hal ini dalam acara Agama dan Masyarakat, yang diadakan di Radio KBR68H sebagai narasumber dalam acara tersebut, Rabu (26/2).
Kerusuhan di antara Islam dan Kristen di Ambon meletus sudah 15 tahun lalu. Lembaga KontraS mencatat sedikitnya 1.300 korban tewas dan 270-an luka parah.
Setelah 15 tahun, proses kerusuhan dan rekonsiliasi sudah terjadi, maka sebuah buku baru yang mengisahkan konflik dan rekonsiliasi Ambon, berjudul “Carita Orang Basudara” diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) bersama Lembaga Antar Iman Maluku.
Buku ini berisi 26 tulisan dari 26 orang penulis asal Maluku dengan berbagai latar belakang profesi.
Kisah selanjutnya muncul dari Irfan Ramli alias Ibeng, salah seorang tokoh pemuda Maluku. Menurutnya, saat konflik pertama kali pecah 15 tahun silam, usianya baru 10 tahun.
“Meski demikian saya sudah tidak lagi merasa sebagai anak kecil. Konflik memaksa saya harus bersikap layaknya orang dewasa,” ujarnya.
Menurut Ibeng, provokator dalam konflik Ambon awalnya menggunakan isu ras untuk memancing pecahnya konflik.
“Tapi itu tidak mempan karena warga Ambon sudah merasa bersaudara dengan pendatang. Sudah banyak yang kawin silang, sehingga masyarakat tidak terlalu terkotakkan dengan isu ras atau suku,” kata dia.
“Itu karena dasarnya warga Ambon itu agamis. Hari Jumat jalan-jalan sepi karena umat Muslim ke masjid, sedangkan hari minggu juga demikian karena warga Kristen pergi ke gereja,” ungkap Ibeng.
Ibeng menambahkan, sebenarnya banyak kalangan di Ambon saat masa konflik yang ingin berdamai, namun harus diakui hal ini luput dari pemberitaan media, dan kurang berperan.
“Ada ratusan LSM yang mencoba menyatukan kedua belah pihak, meski caranya tidak langsung,” ujar Ibeng.
Salah satu caranya adalah dengan menyasar anak kecil di sekolahan. “Mereka kerap membuat perlombaan yang melibatkan kedua belah pihak. Intinya supaya mereka saling bertemu dan mengenal lebih jauh satu-sama lain,” ujar Ibeng.
Sejak lama masyarakat Maluku memiliki slogan Pela Gandong yang merupakan suatu sistem hubungan sosial berupa suatu perjanjian baik antara penduduk pribumi dan pendatang, sekalipun berbeda keyakinan. Sistem sosial tersebut membuat Maluku menjadi daerah yang tenteram.
Namun, Pendeta Albertus Patty menilai konsep Pela Gandong belum teruji betul. “Benih-benih kebencian justru tersamarkan atas nama perjanjian Pela Gandong,” ujarnya.
Meski sempat gagal, menurut Albertus masyarakat tidak usah menampik sejarah. “Biarlah sejarah menjadi pelajaran buat kita,” ujarnya.
Konflik Ambon memang sempat akan kembali mencuat pada 2011. Hal tersebut menurut Ihsan Ali Fauzi, sangat mungkin terjadi karena masyarakat masih dibesarkan dalam cerita parsial soal kebencian.
“Dulu memang banyak media massa tidak menampilkan berita yang utuh. Bahkan memihak salah satu kubu,” kata Ihsan.
Saat konflik berlangsung, sejumlah pihak sadar dengan independensi media di Ambon yang sudah tidak bisa dipercaya. “Oleh karena ini kami membentuk gerakan Kopi Badati. Kami menyebutnya provokator perdamaian,” tegas Ihsan. (portalkbr.com)
Be the first to comment