KIRA Sambangi Kantor PGI Klarifikasi Soal Manifesto Gerindra

PGI – Jakarta. Hasyim Joyohadikusumo bersama Pengurus Kristen Indonesia Raya (KIRA), antara lain: Murphi Hutagalung, Arion Hutagalung dan Eleizer Hardjo, Ph.D, menyambangi kantor PGI, Jakarta, pada Kamis (22/5/2014).

Kunjungan tersebut terkait pemberitaan seputar pernyataan Ketua Umum PGI Pdt. Dr. A. A. Yewangoe perihal Manifesto Gerinda yang mencuat di dunia maya.

Dalam pertemuan tersebut Pdt. Yewangoe menegaskan: “PGI tidak dalam posisi menolak seseorang atau partai apapun.”

Menurutnya, terkait Manifesto Gerindra sangat jelas bahwa negara tidak bisa mengatur soal agama. Sebaliknya, negara harus menjamin semua umat beragama untuk dapat menjalankan agamanya. Negara harus bertindak jika terjadi kasus terkait kebebasan beragama, karena negara memiliki alat. “Contoh kasus GKI Yasmin jelas negara tidak berbuat apa-apa,” tandasnya.

Menanggapi hal itu, Hasyim menjelaskan, di negara Barat, salah satunya Jerman, negara melarang Saintologi. “Ada Church of Saintology ini dilarang di sana karena menodai kemurnian agama. Mereka dilarang karena tujuannya ingin menggelapkan pajak. Jadi ini yang kami maksud,” ujar Hasyim.

Hasyim juga mencontohkan bagaimana Saksi Yehova di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru dilarang Pemerintah karena dianggap menimbulkan keresahan.

Sementara itu, Gleny Kairupan mengakui bahwa Manifesto Gerindra tersebut dibuat  tergesa-gesa karena harus memenuhi batas waktu persyaratan ketika Gerinda ingin didaftarkan sebagai partai. “Jadi ini dibuat dalam waktu sesingkat-singkatnya, dan Pak Prabowo sejak 3 tahun lalu juga pernah bilang bahwa manifesto ini harus diperbaiki,” kata Gleny.

Menurut Yewangoe kalimat dalam manifesto itu perlu diformulasi ulang. “Jiwanya kami mengerti, dan oleh sebab itu kami akan memberi masukan. Jika ada manifesto seperti ini di partai lain kami pasti juga tolak,” tegasnya.

Pertemuan berujung kepada keinginan kedua belah pihak untuk bersama-sama memberikan masukan dalam memperbaiki Manifesto Gerindra tersebut.

Editor: Markus Saragih dan Boy Siahaan.
Foto:   Markus Saragih

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*