JAKARTA,PGI.OR.ID-Sikap intoleransi merapuhkan sendi-sendi kesatuan bangsa kita yang majemuk, serta melemahkan motto negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, merongrong dasar negara Pancasila dan UUD 45. Sehingga dengan demikian bisa saja membuyarkan komitmen kita untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang, mengungkapkan hal tersebut dalam Diskusi dan Bedah Buku Mengurai Benang Kusut Intoleransi. Sebuah Studi atas Hasil Pendokumentasian Kasus Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, di Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (29/9).
Pdt. Henriette menambahkan, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, dan telah memperlihatkan kemampuannya untuk hidup bersama dalam kemajemukan di tengah perkembangan komunitas di berbagai dunia yang semakin majemuk. Sehingga banyak yang ingin belajar dari pengalaman masyarakat Indonesia yang bertahun-tahun telah hidup berdampingan secara damai sekalipun mempunyai latarbelakang suku, budaya, bahasa, dan agama yang berbeda.
“Namun semangat gotong royong dan saling peduli yang dipegang kuat dan merupakan nilai utama berbagai komunitas tradisional di Indonesia, dan karena itu merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, sudah semakin tergerus terutama oleh individualisme, materialisme dan konsumerisme, di tengah arus globalisasi yang semakin deras yang ditandai pengejeran keuntungan bagi diri dan kelompoknya, sehingga manusia tidak lagi segan menyikut sesamanya,” jelasnya.
Lebih jauh Pdt. Henderiette menjelaskan, berbagai konflik baik berskala kecil maupun besar, telah merebak di berbagai tempat di tanah air, dan merusak keharmonisan masyarakat. Tidak jarang perbedaan-perbedaan suku, agama, budaya yang semula dianggap sebagai bagian yang hakiki dari eksistensi kita sebagai masyarakat, dimanipulasi untuk kepentingan ekonomi, atau politik kelompok tertentu. Akhirnya, konflik berbasis SARA tidak terelakkan, dan sikap toleransi atau saling menghargai perbedaan semakin merosot, digeser dengan semakin menebalnya sikap intoleransi terhadap sesama, dan juga eksploitasi terhadap alam.
“Kelompok yang secara jumlah besar atau disebut mayoritas, melakukan pelecehan dan merampok kepada kelompok yang jumlahnya lebih kecil atau sering kita sebut minoritas. Kecenderungan kelompok mayoritas ingin dominan bahkan menjadi penentu tampaknya menggejala di semua kelompok, terlepas dari latarbelakang suku dan agamanya. Kondisi ini tentu tidak sehat bagi masyarakat kita, dan akibatnya terjadilah insiden-insiden kekerasan bernuansa agama di Gunungkidul, tetapi juga di Papua, Aceh Singkil, Makassar, Bitung, dan lainnya,” katanya.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan, lanjut Pdt. Henriette, merupakan hak dasar yang dijamin dalam undang-undang, khususnya dalam Pasal 28E. Sebab itu, menjadi tugas pemerintah menjamin hak dasar tersebut yang akan memupuk sikap toleransi terhadap yang lain. Namun, semakin menyedihkan dan menggelisahkan ketika pemerintah atau oknum pemerintah bersikap “toleran” dalam arti membiarkan kelompok-kelompok intoleran menindas dan melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Akibatnya terjadilah pelanggaran HAM, kebebasan publik terancam, menimbulkan ketakutan yang selanjutnya membuat saling curiga dalam masyarakat, dan mempertebal semangat permusuhan.
Menurut Pdt. Henriette, mengurai benang kusut intoleransi bukanlah pekerjaan mudah namun harus kita lakukan bersama, dan tidak boleh ditunda-tunda. Tantangan ini membutuhkan komitmen semua pihak agar bangsa ini tidak porak-poranda. Tetapi sebaliknya menjadi bangsa yang semakin matang, semakin bertanggungjawab memupuk kebersamaan demi mencapai cita-cita masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
“Kita perlu memiliki visi yang sama untuk memperkuat demokrasi bangsa ini, yang dibarengi dengan sikap saling menghargai perbedaan. Kita perlu menemukan kembali berbagai kearifan lokal dalam masyarakat kita untuk memupuk semangat gotong royong, dan mengatasi potensi-potensi konflik,” tegasnya.