JAKARTA,PGI.OR.ID-Kebhinnekaan adalah realitas yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Kesadaran akan kebhinnekaan telah lama tidak menjadi persoalan, karena adanya sikap menerima dalam keberagaman.
“Sangat bijak jika para pemimpin ketika negara ini akan dibangun, memakai motto Bhinneka Tunggal Ika, karena di tengah perbedaan yang ada, baik suku, bahasa, budaya, agama, melihat betapa pentingnya persatuan agar negara ini menjadi adil dan makmur. Ini komitmen nasional dan ini juga menjadi komitmen semua warga negara Indonesia,” jelas Ketua Umum PGI, Pdt. Dr. Henriette Hutabarat-Lebang saat menjadi nara sumber dalam diskusi bertajuk Pemimpin yang Melayani di Tengah-tengah Kebhinnekaan, di Aula Grha Bethel, Jakarta, hari Jumat (11/3).
Lebih jauh Pdt. Henriette menjelaskan: “Dalam masyarakat tradisional banyak ungkapan yang melihat betapa pentingnya persatuan. Seperti ungkapan di Ambon katong samua basodara. Ini ingin mengatakan bahwa apapun latarbelakangnya, kita bersaudara. Menembusi sekat-sekat yang ada dalam kehidupan.
Namun lanjutnya, arus globalisasi yang membuat masyarakat Indoneisa mengalami perubahan cepat, mengikis nilai-nilai persatuan. Semangat gotong-royong, dan saling membantu semakin menipis. Justru sikap individualisme, konsumerisme, dan profit oriented socialization semakin menguat. Akibatnya solidatitas nasional makin berkurang.
Dia mencontohkan, berkembangnya teknologi telekomunikasi, membuat telepon genggam kian canggih, masyarakat pun lebih mudah berkomunikasi dengan sanak saudaranya yang jauh. Namun, ternyata hal itu melahirkan masalah dalam keluarga, komunikasi antaranggota keluarga yang tinggal serumah menjadi sangat minim. “Ini membuat yang jauh makin dekat, yang dekat makin jauh,” katanya.
Sebab itu, Pdt. Henriette melihat, kebinnekaan yang ada di tengah masyarakat harus menjadi sebuah hal produktif yang dapat saling membangun.
Editor: Jeirry Sumampow