Ketum PGI: “Kami Menyesalkan dan Prihatin Atas Sikap Intoleransi di Aceh Singkil”

MPH PGI bersama perwakilan lintas agama dan Komnas HAM saat konprensi pers di Grha Okoueme, Jakarta

Sikap intoleransi kembali terjadi di negara ini. Massa yang tidak bertanggungjawab melakukan aksi anarkhis dengan melakukan pembakaran sejumlah gereja di Desa Gunung Meriah, Aceh Singkil, Selasa (13/10). Bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa, serta beberapa luka parah.

Sebab itu, PGI sangat menyesalkan dan prihatin bahwa peristiwa semacam ini terjadi lagi. Sikap intoleransi massa, sikap tidak menghargai satu terhadap yang lain, yang mengakibatkan jatuh korban dan rasa tidak aman.

Pendeta Henriette Hutarabat-Lebang Ketua Umum PGI, menyampaikan hal itu dalam jumpa pers yang berlangsung di Grha Oikoumene, Jakarta, Selasa (13/10). Hadir pula perwakilan lintas agama, dan Komnas HAM.

wartawan media cetak maupun elektronik yang hadir dalam jumpa pers menyikapi peristiwa di Aceh Singkil
wartawan media cetak maupun elektronik yang hadir dalam jumpa pers menyikapi peristiwa di Aceh Singkil

“Sampai saat ini situasi masih terus mencekam dan membuat rasa aman masyarakat terganggu. Hal ini sebenarnya sangat kita tidak harapakan, apalagi dalam suatu negara yang dalam undang-undangnya menjamin adanya kebebasan beragama. PGI sangat menyesalkan dan mengutuk keras peristiwa ini,” tegasnya.

PGI, lanjut Pendeta Henriette, juga sangat menyayangkan sikap aparat keamanan yang kurang tanggap dalam mengantisapasi peristiwa ini, sebab beberapa hari sebelumnya sudah terindikasi adanya ketegangan-ketegangan yang mengarah akan adanya aksi pembakaran gereja.

“Kami sangat mengharapkan bahwa pemerintah tetap menjamin rasa aman masyarakat, dan melindungi warganya untuk bebas menjalankan ibadah sesuai dengan undang-undang pasal 29. Ini menjadi keprihatinan kita bersama,” tandasnya.

Penyesalan atas apa yang terjadi di Aceh Singkil juga diungkapkan Rumadi Ahmad. Peristiwa semacam ini, menurutnya terus berulang-ulang dari waktu ke waktu.

“Memang kelihatannya ada kecenderungan masyarakat kita mudah terprovokasi dengan persoalan-persoalan keagamaan seperti ini, meskipun saya yakin masyarakat Indonesia pada dasarnya toleran, apapun agamanya. Tapi kalau ada virus-virus intoleran dari luar masyarakat, kita tidak berpikir panjang. Sebab itu, jika peristiwa ini tidak diantisipasi bukan tidak mungkin apa yang terjadi di Aceh Singkil akan menyebar ke mana-mana,” ujar Ketua Lapkesdam NU ini.

Selain itu, tokoh-tokoh agama juga harus segera menyembuhkan sikap-sikap intoleran yang menurut Rumadi sudah menjadi bagian dari penyakit masyarakat.

Demikian pula Sudarto dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). Dia melihat, pola penanganan negara terhadap kasus semacam ini tidak jelas, dan akibatnya peristiwa serupa kerap terjadi. “Sebab itu kita menuntut sikap tegas pemerintah agar menyelesaikan peristiwa semacam ini dengan pola-pola yang rasional, tranparan dan partisipatif,” ujarnya.

Fazar Ziaulhaq dari Maarif Institute juga mengecam aksi kerusuhan pembakaran gereja di Aceh Singkil. Fazar berharap pemerintah bertindak secara cepat, karena jika tidak, maka efek destruktif dari pemberitaan-pemberitaan negatif yang muncul di media, termasuk media sosial, akan sulit dikendalikan.

Selain prihatin dan menyesali lambannya aparat merespon peristiwa di Aceh Singkil, dalam siaran pers yang dibacakan oleh Jeirry Sumampow Kepala Humas PGI, PGI juga menegaskan bahwa adalah kewajiban pemerintah setempat untuk memfasilitasi warga beribadah manakala kondisi obyektif membuat mereka tidak mampu memenuhi syarat mendirikan rumah ibadah, sebagaimana diatur oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 (pasal 14).

“Perlu ditegaskan bahwa tidak ada maksud gereja untuk tidak mengurus izin. Tetapi realitasnya, pengurusan izin mendirikan rumah ibadah sangat sulit dan bahkan sering tidak bisa diperoleh walau sudah diupayakan semaksimal mungkin,” demikian siaran pers tersebut.

PGI juga menyayangkan sikap Pemda di Pulau Sarok, Aceh Singkil yang takut terhadap tekanan kelompok-kelompok intoleran sehingga menyetujui rencana aksi pembongkaran 10 gereja tersebut. Dan melihat tenggat waktu yang diberikan untuk mengurus izin selama enam bulan adalah hal yang mustahil melihat kenyataan betapa sulitnya mengurus izin rumah ibadah. Apalagi harus didahului dengan pembongkaran gereja, sehingga kegiatan peribadatan akan berhenti sampai waktu yang tidak dapat diperkirakan, mengingat tidak adanya kejelasan dan jaminan beribadah dari Pemda.

Sebab itu, PGI mendesak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo beserta seluruh instansi terkait, untuk mengambil sikap tegas dan segera menghentikan aksi-aksi intoleran dan kekerasan semacam ini, karena jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah juga harus segera memperoses secara hukum orang-orang yang terlibat dalam aksi ini, baik sebagai provokator maupun aktor intelektual.

PGI juga mengajak seluruh umat Kristen di Indonesia, secara khusus di Aceh Singkil, untuk tetap berdoa dan tidak terpancing untuk melakukan tindakan pembalasan. Dan meminta agar semua umat beragama tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan isu-isu provokatif yang sedang beredar.
Editor: Jeirry Sumampow