JAKARTA,PGI.OR.ID-Apapun alasannya kekerasan tidaklah dibenarkan, dan secara prinsip bahwa kita hadir dalam masyarakat majemuk sehingga tidak boleh ada klaim-klaim sepihak.
Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang, Ketua Umum PGI menegaskan hal itu saat berdialog dengan Prof. Dr. Haedar Nashir, MSi Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas Ketua PP Muhammadiyah, di kantor PP Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya No.62, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/11).
Lebih jauh Pdt. Henriette menjelaskan, PGI sangat prihatin dengan peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil, Tolikara, Manokwari dan di beberapa tempat lainnya. Hal ini menunjukkan adanya ketidakdewasaan dan pemahaman yang sempit dalam melihat bagaimana kita hidup dalam kemajemukan.
“Ini memang menjadi concern kita bersama, bagaimana kita saling menghargai. Karena jika terjadi benturan tidak hanya merusak tempat itu semata, tetapi punya dampak yang besar,” tandas Pdt. Henriette yang saat itu didampingi oleh Pdt. Albertus Patty, Pdt. Drs. Samuel Budi Prasetya, MSi, dan Pdt. Sri Yuliana.
Sebab itu, lanjut Pdt. Henriette, kerjasama seluruh pimpinan lintas agama sangat diperlukan dalam rangka memadamkan konflik, memberi kesejukan, dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada kesempatan itu Pdt. Henriette juga mengemukakan tentang empat isu yang menjadi pokok dalam Sidang Raya PGI di Nias yaitu kemiskinan, ketidakadilan sosial, radikalisme dan perusakan lingkungan.
“Ini yang kami coba dalam 5 tahun ke depan bersama-sama mengajak gereja-gereja memikirkan hal ini. Dalam Sidang Raya dibicarakan akar masalah dari keempat isu tersebut yaitu kerakusan manusia. Oleh sebab itu bagaimana membangun spiritualitas yang katakanlah menolak kerakusan. Kami menamakan spiritualitas keugaharian,” jelasnya.
Prof. Dr. Haedar Nashir sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Pdt. Henriette. Menurutnya, umat beragama sebagai sesama anak bangsa harus mampu bersyukur sehingga tidak menjadi rakus. Persoalan korupsi, dan perusakan lingkungan juga disebabkan karena manusia tidak pandai bersyukur.
Terkait konflik bernuansa agama yang terjadi di Tolikara dan Aceh Singkil, Haedar melihat umat beragama harus belajar dari kedua kasus ini. Sebab itu, yang dibutuhkan adalah kejujuran, saling terbuka dan kedewasaan. “Memang kita harus bersabar dalam membangun kedewasaan umat. Mungkin kalau dalam umat masih bisa, tetapi kalau sudah masuk unsur kekuasaan, kepentingan politik ini yang repot, dan akhirnya persoalan menjadi kompleks,” ujarnya.
Selain itu, dia menegaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara umat perlu bertumpu kepada nilai-nilai yang telah disepakati bersama yaitu Pancasila. Namun yang terjadi sekarang Pancasila tanpa penghayatan, dan akhirnya menjadi pengikat yang tanpa makna.
Prof Haedar maupun Pdt. Henriette sepakat perlunya kearifan lokal terus dikedepankan dalam mewujudkan perdamaian di tengah-tengah masyarakat. Sebab menurut Haedar hal ini menjadi salah satu perekat. Sementara Pdt. Henriette mencontohkan saat pelaksanaan Pesparawi yang baru-baru ini berlangsung di Maluku, di mana komunitas Muslim menyambut dan membantu kegiatan tersebut.
“Kearifan lokal adalah kekayaan yang kita miliki. Ini sesuatu hal yang sangat kita lihat sebagai tanda-tanda harapan pada tingkat lokal di mana masih kental persaudaraan ini, dan melampaui batas-batas yang ada,” tandasnya.
Editor: Jeirry Sumampow