JAKARTA,PGI.OR.ID-Kekerasan seksual online menjadi trend global yang paling ditakuti saat ini, dan orang dewasa memanfaatkan fasilitas internet atau smart phone dan melakukan chatting dengan anak-anak. Mereka bertemu di media sosial, menjalin hubungan selanjutnya melakukan pertemuan fisik/virtual dan melakukan kekerasan seksual.
Ahmad Sofian dari ECPAT Indonesia menegaskan hal itu dalam diskusi yang berlangsung di Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (23/2), dalam rangka kegiatan Konas Pelayanan Anak ke 5.
Sofian juga melihat, telah terjadi tsunami kekerasal seksual melalui gadget, dan anak-anak menjadi korbannya. “Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan ini, saya kira orangtua harus memberi perhatian khusus kepada anak-anak agar tidak memasuki konten-konten pornografi yang mudah dilihat di smart phone mereka,” katanya.
Menurut Sofian, pemerintah sendiri tidak mampu untuk mengatasinya. Sebab itu dibutuhkan partisipasi orangtua sangatlah dibutuhkan. “Anak-anak sekarang sudah dengan mudah menikmati pornografi lewat alat-alat komunikasi canggih yang mereeka miliki,” tandasnya.
Cara jitu yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk mengecek berapa kapasitas (gigabite) yang dipakai si anak dengan smart phonenya. “Kalau cuma untuk komunikasi cukup satu gigabite dalam sebulan, tetapi kalau sudah lima gigabite dalam sebulan perlu dicurigai,” ujar Sofian.
Ditegaskan pula, meski Indonesia telah memiliki perangkat hukum, namun tidak akan mengurangi kejahatan kekerasan seksual. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah bagaimana menyembuhkan para pelaku. “Bukan hukum, tetapi yang penting medical treatmen karena banyak faktor yang melatarbelakangi si pelaku, bisa saja trauma masa lalu dan sebagainya,” imbuhnya.
Sementara itu, dr. Alpinus Kamboji, Konsultan Program HIV dan AIDS CCA melihat, tidak mudah bagi gereja untuk melihat persoalan kekerwsan seksual ini. Sebab itu yang penting menurutnya adalah bagaimana mewujudkan kemampuan keluarga.
“Bagaimana menjadi orangtua yang baik, misalnya melalui pastoral pernikahan yang perlu dipersiakan dengan baik oleh gereja. Contoh apa yang sudah dilakukan oleh GKI. Nah, diharapkan output dari situ adalah orangtua punya ketrampilan yang baik dalam menyikapi persoalan semacam ini,” jelas Kamboji.