Kebut Revisi, Rapat Pun Sampai Dini Hari

JAKARTA,PGI.OR.ID-Jika tak ada aral melintang, revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau biasa dikenal dengan UU Pilkada, bakal diketok palu pada 1 Juni 2016. Andai pun tidak 1 Juni, kemungkinan besar revisi UU itu akan disahkan 2 Juni 2016, dalam rapat paripurna DPR.

Namun, menjelang diketok palunya revisi UU Pilkada, masih ada satu klausul yang mengganjal. Klausul yang mengganjal itu adalah tentang keharusan mundur bagi anggota DPR, DPD dan DPRD yang hendak maju di Pilkada. Pemerintah bersikukuh harus mundur, sesuai keputusan MK, sementara DPR tak perlu mundur, cukup cuti. Klausul itu yang membuat perdebatan dalam pembahasan UU Pilkada sangat alot. Bahkan berlarut-larut.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengakui jika pembahasan revisi UU Pilkada cukup alot. Bahkan sempat deadlock. Rapat demi rapat dilakukan. Rapat pun tak kenal waktu. Rapat terakhir misalnya, sampai pukul dua dini hari lewat, sebelum akhirnya di skor, dan disepakati dilanjutkan esok harinya pukul 10 pagi. Yang diperdebatkan masih soal mundur tidaknya anggota DPR, DPD dan DPD.

“Rapat kemarin, sampai subuh (pagi dini hari-red) sudah ditutup Panjanya,” kata Tjahjo, di Jakarta, kemarin.

Saat ini, lanjut Tjahjo, tim perumus terus bekerja mensinkronkan dan merumuskan hal-hal yang sudah diputuskan. Diakuinya, hanya satu poin yang belum disepakati, yakni soal keharusan mundur atau tidaknya anggota dewan yang hendak maju dalam Pilkada.

“Satu yang belum bulat, posisi DPR, DPR dan DPD, harus mundur atau tidak. Selain itu, masih ada tiga fraksi yang masih mempermaslahkan syarat pencalonan partai  15% atau 20%,” katanya.

Tjahjo sendiri berharap, segera ada titik temu. Tapi, ia sendiri cukup optimis jika pada akhirnya ada kesepakatan. Sehingga tak perlu dilakukan voting untuk memutuskan poin tentang mundur tidaknya anggota dewan. Sikap pemerintah sendiri tak berubah, tetap berpegang pada putusan MK, dimana anggota DPR, DPRD dan DPD harus mundur, sama dengan calon dari TNI, Polri atau PNS.

“Karena putusan MK adalah sebuah sistem ketatanegaraan kita, sistem hukum kita, apa yang sudah menjadi keputusan MK, ya final, dan mengikat bagi seluruh masyarakat.  Mengikat pemerintah, parpol dan lembaga lain,” katanya.

Kata Tjahjo, jangan sampai UU yang dibuat, bertentangan dengan apa yang sudah diputuskan mahkamah. Tjahjo juga menegaskan, bukan pemerintah tak mau mengakomodir aspirasi fraksi partai di DPR. Namun, jika pemerintah mengamini apa yang diinginkan Komisi II, sama saja pemerintah melanggar apa yang sudah diputuskan oleh MK. Keharusan mundur juga kata Tjahjo berlaku bagi petahana.

“Lah itu juga sama. Petahana juga keputusan MK. Kan enggak mungkin UU ini bertentangan dengan apa yang menjadi keputusan MK. Soal nanti MK ada kebijakan lain enggak ada masalah,” katanya.

Tjahjo mencontohkan, dulu soal politik dinasti tak dibolehkan. Tapi kemudian, MK membolehkan. Jadi, putusan mahkamah yang jadi pegangan pemerintah, sebab dasar putusan MK itu sendiri adalah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.

“Amar putusan MK itu jelas. Kata pemerintah apa yang menjadi putusan MK, final dan mengikat,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Pendidikan Pendidikan Politik untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz dengan tegas meminta agar DPR tak ngotot terus memperjuangkan klausul anggota parlemen tak perlu mundur. Anggota parlemen yang nyalon Pilkada wajib mundur, sama dengan calon dari unsur TNI, Polri atau PNS. Kata Masykurudin ini sangat penting, untuk menjamin kontestasi berjalan fair, adil dan demokratis.

“Anggota DPR yang maju Pilkada harus mundur,” kata Masykurudin. (AS)