JAKARTA,PGI.OR.ID-Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, meminta agar kebijakan tentang kartu pendudukan musiman dihentikan. Diakuinya, masih ada beberapa daerah yang masih menerapkan kebijakan tersebut
“Ya, terkait dengan adanya daerah-daerah yang masih menerapkan Kipem atau kartu penduduk musiman seperti surabaya kiranya praktek tersebut harus dihentikan,” kata Zudan, di Jakarta, Selasa (23/8).
Menurut Zudan, kebijakan kartu penduduk musiman, tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan. Sebab itu, ia meminta, kebijakan tersebut segera dicabut atau ditiadakan.
“Ada pengaduan dari penduduk di Surabaya yang dirazia karena tidak punya Kipem dan KTP elektroniknya disita karena dia berasal dari luar Surabaya,” kata Zudan.
Zudan menilai, tindakan yang dilakukan aparat di Surabaya itu bisa dikategorikan represif. Dan, penyitaan KTP elektronik tak sesuai dengan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang justru mengamanatkan agar dalam menyikapi permasalahan terkait kependudukan wajib ditempuh cara-cara yang humanis.
“Daerah dilarang membuat kebijakan yang represif apalagi bertentangan dengan UU Adminduk yang humanistik paradigmanya,” ujar Zudan.
Pihak pemerintah Kota Surabaya sendiri kata Zudan sudah melaporkan hal itu kepadanya. Pemeritah Kota Surabaya berdalih, kebijakan tentang Kipem didasarkan pada Perda Nomor 14 tahun 2014 tentang Administrasi Kependudukan.
“Di Perda itu, di Pasal 9, dinyatakan setiap penduduk WNI tinggal sementara di Surabaya yang bukan penduduk Surabaya selama tiga bulan atau lebih, harus memiliki surat keterangan tinggal sementara yang berlaku selama 1 tahun dan dapat diperpanjang, tidak dikenakan biaya,” ujar Zudan.
Dan di Pasal 97 Perda yang dikeluarkan Pemkot Surabaya, kata Zudan diatur juga mengenai sanksinya. Di pasal tersebut dinyatakan, pelanggaran terhadap Pasal 9 dikenakan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta yang masuk kas negara. Lalu di Pasal 96, dikatakan penyidikan pelanggaran dalam Perda dilakukan PPNS dengan kewenangan menyita surat antara lain KTP elektronik, untuk dilakukan BAP dan proses verbal Tipiring ke Pengadilan Negeri. Jadi KTP elektronik akan diberikan setelah pelanggar melaksanakan putusan pengadilan negeri dengan membayar denda ke kas negara.
“Kadis Kota Surabaya sudah mengakui bila Perda tersebut tidak ada rujukan dengan UU Adminduk. Saya sudah minta kepada Kadis Kota Surabaya agar Kipem dihentikan. Razia dihentikan diganti dengan pendataan penduduk. Diubah paradigmanya dari represif menjadi humanis,” ujarnya. (AS)