PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengakhiri pemerintahannya dan kini digantikan Presiden Joko Widodo. Bersamaan dengan itu, berbagai masalah lama diwariskan kepada pemerintahan baru, termasuk kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bagaimana petanya?
”Kami masih mengungsi. Rencana Presiden SBY memulangkan kami sudah mentok,” kata Iklil Almilal (43), juru bicara pengungsi Syiah asal Sampang, di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.
Saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/10), Iklil bercerita, dulu betapa girang perwakilan pengungsi saat diterima SBY di rumahnya di Cikeas, Bogor, Juli 2013.
Presiden berjanji memulangkan mereka ke Sampang, dan dibentuk tim rekonsiliasi yang dipimpin Rektor Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abd A’la. ”Pak SBY bilang, insya Allah, bapak-bapak akan kembali ke kampung Lebaran nanti,” kata Iklil menirukan ucapan Presiden SBY.
Namun, hingga masa jabatan Presiden SBY berakhir 20 Oktober 2014, janji itu kandas. Sebanyak 73 keluarga (173 jiwa) kelompok Syiah masih mengungsi. Tak bisa andalkan bantuan makan Rp 709.000 per jiwa per bulan, mereka berjibaku bekerja serabutan. ”Kami kecewa tak bisa pulang kampung untuk bertani dan beternak seperti dulu,” kata Iklil.
Kelompok Syiah terusir dari Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, akibat serangan massa, 26 Agustus 2012. Kekerasan itu menewaskan satu orang, melukai 10 orang, dan 46 rumah terbakar. Jika dihitung sejak tinggal sementara di GOR Sampang sebelum dipindah ke Rumah Susun Jemundo, dua tahun dua bulan sudah mereka mengungsi.
Terbengkalai
Kisah sedih pengungsi Syiah salah satu dari daftar kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia yang terbengkalai selama pemerintahan Presiden SBY.
Daftar lain, kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat. Begitu pula penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa Barat (berlangsung 5 tahun); izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara Timur (3 tahun); dan penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia di Bekasi (2 tahun).
Saat bersamaan, marak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Wahid Institute, ada 121 peristiwa pada 2009. Jumlah ini meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa (2011), dan 278 peristiwa (2012). Tahun 2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian menyebar.
Laporan serupa disampaikan Setara Institute, Maarif Institute, Human Rights Watch, Human Rights Working Group di Indonesia, dan Litbang Kementerian Agama RI. Pelanggaran itu dilakukan aparat negara dan masyarakat. Bentuknya beragam: serangan terhadap kelompok berbeda, pelarangan terhadap aliran yang dicap sesat, pelarangan/penyegelan rumah ibadah, atau kriminalisasi atas nama agama.
Mengapa kondisi itu bisa terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY? Menurut Program Officer The Wahid Institute Alamsyah M Dja’far, pemerintahan saat itu tidak serius menjalankan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Pekerjaan rumah
Berbagai kasus yang terbengkalai itu kini menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi meminta Jokowi menangani berbagai kasus pelanggaran, khususnya pengungsi dan eksekusi putusan hukum terkait rumah ibadah.
Presiden Jokowi telah memilih kembali Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama dalam kabinetnya. Seusai pelantikan, Selasa (29/10), Lukman berjanji menyelesaikan kasus-kasus lama yang terbengkalai itu. ”Kami terus mencari solusi. Karena kompleksitas masalahnya, kami harus uraikan secara utuh. Mudah-mudahan ada jalan keluar,” katanya. (Ilham Khoiri)
Sumber: Kompas.com
Be the first to comment