Kebebasan Beragama “Pekerjaan Rumah” Bangsa Indonesia

JAKARTA, PGI.OR.ID – Stop Diskriminasi Sekarang Juga, Keluar Dari Indonesia Jika Tidak Bisa Menerima Pancasila, Tolak Kekerasan Demi Persatuan NKRI, dan Lawan Jangan Diam.

HAM1

Kalimat-kalimat tersebut dibentangkan para pemimpin lintas agama dalam diskusi nasional Hak Asasi Manusia dari Perspektif Agama dan Kepercayaan di Indonesia, yang digelar oleh Organization of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE), di Wisma ANTARA, Jakarta, Rabu (25/3/2015).

Dalam diskusi tersebut seluruh pimpinan lintas agama sepakat bahwa penegakkan HAM di Indonesia sedang mengalami masalah, ini terbukti dengan maraknya kasus perusakan, pelarangan, diskriminasi, dan kekerasan atas nama agama, yang sesungguhnya telah melanggar esensi dari ajaran agama itu sendiri. Sebab itu, mereka meminta perhatian pemerintah, seperti yang dinyatakan dalam Nawacita Jokowi-JK, untuk hadir dalam melindungi kebebasan beragama setiap warga negara Indonesia.

Pada kesempatan itu Ketua PGI Pdt. Albertus Patty menegaskan bahwa diskriminasi dan penindasan oleh apapun tentulah bertentangan dengan ajaran setiap agama.

Menurutnya, penegakkan HAM, secara khusus terkait kebebasan beragama, memang menjadi “Pekerjaan Rumah” bangsa Indonesia, dan kehadiran agama-agama justru seharusnya untuk menegakkan HAM. “Kita tidak bisa bersandar kepada pemeritah dan aparat karena mereka justru sering memfasilitasi kekerasan, maka perlu kerjasama untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik,” tandasnya.

Sementara itu, tokoh agama Katolik Romo Magnis Suseno menuturkan, kekerasan dan penindasan atas nama agama tidak boleh terjadi di muka bumi ini.

Mengutip sila pertama Pancasila, kata Magnis, Negara tidak boleh mendiskriminasi seseorang, apalagi berdasarkan agama, aliran, ataupun kepercayaan. Sebab itu, ke depan, kebebasan beragama harus lebih memperhatikan rambu-rambu atau undang-undang. Namun, jangan sampai undang-undang tersebut justru mendatangkan diskriminasi.“Lebih baik saling menghormati dan menghargai meski ada perbedaan,” tandasnya.

“Undang-undang, lanjut Magnis, harus tetap menghormati hak setiap warga negara yang meyakini dirinya ciptaan Tuhan. Manusia tidak boleh mencampuri apa yang sudah diyakini seseorang, sebab itu adalah pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan, bukan pada sesama manusia,” ujar Magnis.

Dari perspektif Islam, Zafrullah Ahmad Pontoh melihat, kehidupan bermasyarakat yang majemuk dalam berbagai dimensi, memerlukan pola yang dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya gerekan dan resistensi yang bisa mengganggu keharmonisan. Selain itu pola tersebut mestinya dapat menumbuhsuburkan toleransi di dalam masyarakat.

“Sebab itu, umat beragama perlu bersikap lemah lembut terhadap orang lain, tidak kasar dan tidak keras kepala. Selain itu manusia tidak perlu dipaksa mau beriman atau tidak,” ujar tokoh Jama’ah Ahmadiyah Indonesia ini.

Para pimpinan lintas agama yang hadir dalam diskusi tersebut Rm. Magnis Suseno, Rm. Daniel Byantoro, Pdt. Albertus Patty, Biksu Nyanabhadra, K.H. Misbahul Munir, Mln. Zafrullah Pontoh, Ust. Jalaludin Rahmat, dan Imdaduddin Rahmat. (ms)