Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Aksi membagi-bagikan bunga dan booklet di lampu merah Jalan Dipenogoro, Jakarta

JAKARTA,PGI.OR.ID-Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Biro Perempuan dan Anak PGI bersama gereja-gereja serta LSM yang concern terhadap isu tersebut, membagi-bagikan setangkai bunga serta booklet kepada para pengendara, di lampu merah Jalan Dipenogoro, samping Gedung Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (10/12).

Pdt. jeinny E Keliat, Kabiro Perempuan dan Anak PGI saat memberikan setangkai bunga kepada pengendara motor
Pdt. jeinny E Keliat, Kabiro Perempuan dan Anak PGI saat memberikan setangkai bunga kepada pengendara motor

Aksi yang berlangsung sekitar 2 jam ini, ingin memberi pesan bahwa semua kita memiliki tanggungjawab dan kepedulian untuk melawan dan menghindari segala bentuk kekerasan, terutama yang menimpa kaum perempuan dan anak-anak.

Usai pemberian bunga, dilanjutkan dengan diskusi bertajuk Dimulai dari Rumah Menuju Kedamaian Dunia: Menjadikan Pendidikan Untuk Semua.

Pada kesempatan itu, Pdt. Gomar Gultom, MTh, Sekretaris Umum PGI menuturkan bahwa, hidup dalam damai menjadi dambaan setiap orang, demikian pula agama-agama. Namun kekerasan tetap saja terjadi. Hal ini disebabkan karena masing-masing kita dalam rangka mengupayakan damai cenderung mengorbankan kedamaian orang lain, dan lebih berkutat pada kedamaian pribadi, bukan kedamaian bersama.

Pdt. Gomar Gultom saat menyampaikan pandangannya
Pdt. Gomar Gultom saat menyampaikan pandangannya

“Dalam praktek menggapai damai itu kita persis seperti panjat pinang. Panjat pinang tidak akan berhasil kalau pesertanya tidak kerjasama. Mereka semua tau, tapi kecenderungannya tidak mau kerjasama tapi mereka ingin mengambil hadiahnya. Dan sekarang, gejala ini semakin kuat di dunia. Semua sedang dirasuki gejala kerakusan,” tegasnya.

Sebab itu, lanjut Pdt. Gomar, yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif untuk mewujudkan damai. Kesadaran kolektif itu tidak hanya sebatas kaum perempuan. “Menurut saya kelemahan, paling tidak saya belajar dari gereja saya, kelemahan terbesar ketika kita mengembangkan solidaritas ini hanya sesama perempuan. Maka dia akan kehilangan gregetnya, dia akan kehilangan daya juangnya. Ini harus dilakukan bersama antara lelaki dan perempuan,” katanya.

Salah satu peserta diskusi saat mengajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab
Salah satu peserta diskusi saat mengajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab

Lebih jauh Pdt. Gomar mengatakan: “Gereja-gereja di Indonesia selama ini aktif mengkampanyekan Dekade Mengatasi Kekerasan tanpa Kekerasan yang dicanangkan oleh Dewan Gereja seDunia. Juga Dekade Internasional untuk Budaya Damai dan Tanpa Kekerasan Bagi Anak yang dicanangkan oleh PBB. Juga Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Namun kita tetap dibayangi oleh budaya kekerasan.”

Ditambahkan pula, kesaksian Alkitab menunjukkan damai bersumber dari pulihnya hubungan manusia dengan Tuhan. Hilangnya hidup damai dan munculnya kekerasan bersumber dari kerusakan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Maka, jika kita memperjuangkan perdamaian, hal pertama yang harus dilakukan adalah memulihkan hubungan kita dengan Tuhan. “Nah, hubungan manusia dengan Tuhan kita refleksikan dengan hubungan kita dengan sesama. Kebersamaan merupakan hakekat dari hidup damai. Juga dengan alam semesta,” tandasnya.

Sementara itu, temuan KOMNAS Perempuan yang disampaikan dalam diskusi oleh Masruchah, menunjukkan bahwa satu hari ada 35 perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual. Atau setiap 2 jam ada 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Sementara selama tahun 2015 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Disampaikan pula, temuan tentang Kekerasan Seksual (KS) oleh Forum Pengada Layanan
Tahun 2014 di 9 Provinsi tercatat 45 % perempuan korban KS masih berusia anak (dibawah 18 tahun). Dan, 47 %nya adalah kasus incest, dimana 90 % pelaku adalah ayah korban. Selain itu, 85 % pelaku KS terhadap perempuan adalah orang terdekat korban yakni orang tua, saudara, suami, pacar, tetangga, teman dan guru. Sebanyak 100 % perempuan yang menjadi korban KS sudah dipilih atau ditarget oleh para pelakunya, 43 % KS dilakukan dengan ancaman/intimidasi dan kekerasan , dan 57 % dengan tipu daya.

Menurut Masruchah dalam rangka memerangi kekerasan terhadap perempuan, PGI harus mengoptimalkan usaha memerangi kejahatan seksual. PGI dengan basis sosialnya memiliki peran pencegahan, memajukan (memberdayakan) dan melindungi masyarakat korban kekerasan dalam kerangka membangun kehidupan yang damai.

Selain itu, pimpinan PGI seringkali menjadi pihak yang didatangi korban pertama kali untuk melaporkan kasusnya, karena pimpinan PGI dipercaya dapat membantu mencarikan solusi terhadap persoalan yang dialami umat atau komunitasnya.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Woman’s Global Leadership. Setiap tahun, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November (hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional) hingga tanggal 10 Desember (Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional).

Dipilihnya rentang waktu tersebut dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerjasama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat. Dalam rentang 16 hari, para aktivis HAM perempuan mempunyai waktu yang cukup untuk membangun strategis pengorganisasian agenda bersama seperti: menggalang gerakan solidaritas, mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor, dan mengajak semua orang terlibat aktif.

 

Editor: Jeirry Sumampow