JAKARTA,PGI.OR.ID-Hampir sepuluh tahun sudah pengaturan soal pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator lahir di Indonesia sejak Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006. Namun dalam prakteknya masih ditemukan problem krusial dalam pemberian reward bagi mereka di pengadilan.
“Terjadi lagi, perbedaan pendapat di pengadilan soal justice collaborator. Hakim Tipikor tidak sepakat dengan justice collaborator yang diajukan Jaksa KPK,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, di Jakarta, Rabu, 15 Juni 2016.
Seperti diketahui, kata Supriyadi, di pengadilan korupsi kasus penyuapan anggota Komisi V DPR, hakim Tipikor menolak Abdul Khoir sebagai justice collaborator. Hakim berpendapat, Abdul Kadir tidak tepat diberikan status sebagai justice collaborator karena menjadi pelaku utama. Abdul Khoir akhirnya diberikan vonis yang lebih berat dari tuntutan Jaksa. Ini kali keduanya Pengadilan Tipikor menolak status justice collaborator yang di tetapkan KPK. Sebelumnya di tahun 2014, pengadilan Tipikor juga menghukum Kosasin Abas lebih berat dari tuntutan Jaksa.
“Padahal dalam monitoring ICJR di 2016, berdasarkan data justice collaborator di beberapa Institusi sampai saat ini, masih menunjukkan instrumen justice collaborator masih diharapkan oleh para pelaku yang berniat membantu aparat penegak hukum,” tuturnya.
Berdasarkan data KPK, lanjut Supriyadi, pada 2016 ada 21 permohonan tersangka Korupsi yang meminta status justice collaborator di KPK. Dari 21 permohonan ada 2 kasus yang di terima sebagai justice collaborator. Dan 10 ditolak atau tidak memenuhi syarat. Serta 9 permohonan masih proses. Sedangkan menurut data LPSK sampai dengan 2016 ada 8 kasus dimana tersangka atau terdakwa telah mendapatkan status justice collaborator dari lembaga tersebut.
“Seluruh kasus tersebut adalah kasus korupsi. Sedangkan data dari BNN di tahun 2016 ada 8 narapidana yang meminta status justice collaborator dan seluruhnya di tolak oleh BNN karena tidak pernah bekerjasama dengan penyidik dan sebagian tidak pernah disidik oleh BNN,” katanya.
Sedangkan data dari BNPT dan Kejaksaan kata Supriyadi, tidak diketahui berapa jumlah tersangka atau terdakwa yang meminta status justice collaborator dan berapa yang telah diberikan status tersebut. Supriyadi sendiri melihat ada perbedaan cara pandang dari aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam berbagai regulasi yang tersedia. Misalnya Surat Edaran MA No 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana atau Whistleblower dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama atau Justice Collaborator di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, UU Nomor 31 Tahun 2006 dan UU Nomor 31 tahun 2014, dan Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK.
Cara pandang hakim, jaksa, LPSK atas pelaku bekerjasama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerjsama sulit di dapatkan. ” Ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerjasama. Misalnya, revisi dalam UU No 31/2014 juga tidak memasukkan mengenai persyaratan sebagai pelaku yang bekerjasama.” katanya.
Sehingga, ujar Supriyadi, rumusan syarat ini harus dicari padanannya dalam beberapa peraturan di luar UU, misalnya SEMA atau kesepakatan antar lembaga. Inilah yang membuka celah beda pandangan tersebut. Ia menilai soal frase “pelaku utama” dalam regulasi yang ada masih kurang tepat. Karena akan menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam kasus sebelumnya, frase ini juga yang menjadi batu sandungan terkait terdakwa Kosasih Abas di pengadilan Tipikor tahun 2014. Kosasih Abas yang di tetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator justru mendapat hukuman yang lebih berat dari tuntuan. Masalah ini kemungkinan akan terjadi pula dengan kasus korupsi dengan terdakwa Gatot Pudjonugroho dan Evi yang sudah di tetapkan sebagai justice collaborator oleh KPK. ” ICJR merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum untuk kembali duduk bersama untuk menyamakan persepsi soal frase “pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan justice collaborator,” ujarnya.
Lebih jauh Supriyadi juga meminta agar aparat penegak hukum kembali melihat aturan baru. Dalam UU Nomor 31 tahu 2014, definisi saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Pasal ini harus menjadi rujukan baru bagi peraturan lainnya. Surat MA atau kesepakatan bersama Apgakum harus di revisi berdasarkan UU yang baru tersebut. “Menurut kami, jika hal ini kerap terjadi maka cita cita Indonesia dalam mengusung peran justice collaborator untuk berkolaborasi di pengadilan akan makin surut,” katanya.
Pasalnya, para tersangka calon justice collaborator akan berpikir ulang untuk kolaborasi dengan penyidik. Dan ini akan mempersulit tugas Jaksa dalam mengungkap kasus-kasus. Kasus-kasus tindak pidana korupsi kelas berat, pembongkaran bandar narkoba maupun kejahatan terorisme yang dilakukan secara terorganisir, dipastikan akan mengalami kesulitan karena minimnya bukti dan informasi yang dapat dikembangkan dalam upaya penuntutan. Oleh karenanya penggunaan pelaku yang bekerjasama harus dikembangkan di Indonesia. “Padahal penggunaan peran pelaku yang bekerjasama dan perlindungannya sudah berkembang dan menyebar di beberapa negara sejak tahun 70an,” katanya.
Di Amerika dan Eropa, kata dia, penggunaan saksi mahkota dan informan pidana digunakan untuk melawan kejahatan serius yang meliputi kejahatan terorisme, narkoba dan kejahatan terorganisir. Bahkan saat ini, di negara-negara Eropa Barat, baik polisi maupun intelijen telah mengembangkan kapasitasnya untuk mengidentifikasi dan merekrut informan untuk kejahatan terorganisir. Strategi ini tidak hanya digunakan untuk kejahatan yang spesifik, yaitu untuk terorisme dan narkoba.
“Namun juga dikembangkan untuk melawan kejahatan terorganisir yang lebih di Amerika dan Eropa, kata dia, penggunaan saksi mahkota dan informan pidana digunakan untuk melawan kejahatan serius yang meliputi kejahatan terorisme, narkoba dan kejahatan terorganisir. Bahkan saat ini, di negara-negara Eropa Barat, baik polisi maupun intelijen telah mengembangkan kapasitasnya untuk mengidentifikasi dan merekrut informan untuk kejahatan terorganisir. Strategi ini tidak hanya digunakan untuk kejahatan yang spesifik, yaitu untuk terorisme dan narkoba. “Namun juga dikembangkan untuk melawan kejahatan terorganisir yang lebih luas cakupannya,” katanya. (AS)