Penulis Dr. Zakaria Ngelow, sejarawan gereja, anggota MPH-PGI
PGI.OR.ID – Setelah tertunda satu dekade pada masa-masa sulit pendudukan militer Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, pada Hari Pentakosta, tanggal 25 Mei 1950, Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) didirikan, dengan tujuan membentuk Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
Tetapi tujuan yang terkait kesibukan mempertemukan ajaran dan tata gereja (termasuk liturgi) itu kemudian ditinggalkan. Ditegaskan bahwa keesaan gereja adalah karunia dan kehendak Tuhan; dan dengan demikian sudah otomatis terkandung dalam hakekatnya (gereja itu esa, kudus, am dan rasuli) dan karena itu panggilan gerakan keesaan adalah mewujudkan keesaan dalam pelaksanaan panggilan gereja, termasuk saling menerima dan saling mengakui dalam ritual peribadahan.
Pada tahun 1984, pada Sidang Raya X PGI di Ambon, terjadi perkembangan penting dalam gerakan ekumenis di Indonesia, yakni meningkatkan status kelembagaannya dari “dewan” gereja-gereja menjadi “persekutuan” gereja-gereja (dari DGI menjadi PGI). Di balik peningkatan ini dilembagakan kesadaran bahwa keesaan gereja bukan peleburan menjadi satu gereja, melainkan mempertahankan wujud kelembagaan masing-masing gereja dalam ikatan sebagai satu gereja Tuhan. Inilah keesaan dalam kepelbagaian, yang sesuai dengan kiasan mengenai gereja dalam Perjanjian Baru (band. Rm 12: 4 dst; 1Kor 10:16 dyb; 1Kor 12:12 dst).
Bersama dengan status persekutuan itu, ditetapkan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yang mengungkapkan keesaan gereja-gereja anggota dalam ajaran, dalam panggilan, dalam saling mengakui dan saling menerima sebagai gereja, program kemandirian bersama, dan pengorganisasian (Tata Dasar PGI). Masalah yang terkait dasar-dasar doktrin dirumuskan dalam dokumen Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK). Setiap lima tahun sekali dokumen-dokumen ini dibaharui (kini disebut DKG saja), khsususnya dokumen PTPB (Pokok-pokok Tugas dan Panggilan Bersama), yang mengungkapkan pemahaman gereja mengenai konteks internal dan eksternal gereja-gereja di Indonesia dan panggilan gereja-gereja menghadapinya.
Wacana dan Tindakan
Tetapi salah satu kenyataan menyangkut dokumen-dokumen ini adalah perumusan-perumusan wacana ekumenis yang berbobot namun hanya “menjadi gagasan yang dipenjara dalam kata-kata dan tidak dibebaskan menjadi tindakan”. Ini terkait dengan sifat gerakan ekumenis Indonesia yang dimainkan di kalangan pimpinan gereja dalam arena persidangan-persidangan atau konferensi. Dalam kaitan kenyataan itu, gereja-gereja juga masih bermain di wilayah ritual, dengan kesibukan peribadatan yang mencengangkan frekwensi jadwal dan prosentase budgetnya.
Sebenarnya sejak awal Orde Baru gereja-gereja sudah didorong untuk memberi perhatian pada bidang-bidang pelayanan sosial, yang kemudian dirumuskan dalam PTPB sejak tahun 1984. Tetapi selain masih banyak yang bergantung pada dukungan dana dari luar, gereja-gereja yang berusaha bergiat masih bekerja sendiri-sendiri dan/atau melalui program yang dijalankan badan-badan di lingkup sinodal, pada hal seharusnya arena gerakan ekumenis adalah kehidupan jemaat dengan dunia sekitarnya.
Sebab itu kesungguhan mewujudkan keesaan gereja akan nampak dengan menggeser arena gerakan dari persidangan pada elit gereja ke program-program konkrit di jemaat-jemaat, dan dari kegiatan yang didominasi wacana ke aktivitas pelayanan, pemberdayaan dan pendampingan. Dan tidak dilaksanakan dari, oleh dan untuk gereja semata, melainkan dalam kebersamaan dengan jemaat-jemaat tetangga (yang berbeda sinode) dan bahkan dengan komunitas antar-agama atau lembaga-lembaga sosial setempat.
Para pemimpin jemaat lokal seharusnya mengambil alih peran sebagai penggerak gerakan keesaan gereja-gereja, misalnya dalam melakukan pemberdayaan dan pendampingan masyarakat setempat menghadapi masalah-masalah sosial, yang perlu dihadapi bersama para pemimpin komunitas setempat. Masalah narkoba, kejahatan sosial, radikalisme agama, land grabbing dan kerusakan lingkungan merupakan isu-isu yang menjadi tantangan bersama para pemuka komunitas lokal. Hubungan antarpemuda gereja atau kaum perempuan antaragama sangatlah bermakna bagi hubungan-hubungan baik bagi pewujudan gerakan ekumenis.
Keesaan dalam Kepelbagaian
Aspek lain dari wacana gerakan ekumenis di Indonesia adalah cara memahami dokumen Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM) antara gereja-gereja anggota PGI. Salah satu penekanan di balik piagam ini adalah menerima prinsip keesaan dalam kepelbagaian gereja-gereja di Indonesia, khususnya menyangkut perbedaan dalam bentuk/cara pelayanan ritual supaya, misalnya, tidak perlu suatu gereja membaptis ulang anggota gereja lain. Atau, supaya warga atau pelayan dari gereja lain dapat diterima dalam pelayanan perjamuan kudus, atau pemberkatan nikah, dst. Ada berbagai perbedaan antara gereja-gereja anggota, baik dalam liturgi, tata gereja dan ajaran, juga dalam aspek sosial dan pelembagaan.
Salah satu masalah yang terkait dengan dokumen PSMSM yang sering mengemuka adalah pembentukan jemaat dari gereja anggota PGI di wilayah yang diklaim oleh anggota PGI setempat sebagai wilayahnya. Dalam format pelembagaan gereja-gereja di Indonesia, sedikitnya terdapat tiga format berbeda. Gereja-gereja penerus Indische Kerk (misalnya GMIM, GPM, GMIT, GPI Papua dan sejumlah gereja di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah) menganut pelembagaan teritorial, yakni hanya mendirikan jemaat di wilayah tertentu: GMIM di Minahasa, GPM di Maluku, GMIT di NTT, dst. Demikian juga beberapa gereja lainnya, seperti Gereja Kristen Sumba, Gereja Kristen Protestan Bali, GKJW, GKP, GKE, GKST dan GKI di Tanah Papua.
Format yang kedua adalah gereja-gereja aliran denominasi, seperti Pentakosta, Metodis, Kemah Injil, dsb yang tidak membatasi wilayah penyebaran atau pembentukan jemaat-jemaatnya. Sedangkan format yang ketiga adalah gereja-gereja berbasis etnis, dengan penyebaran/pembentukan jemaat-jemaatnya mengikuti persebaran warganya. Jemaat-jemaat HKBP dan Gereja Toraja serta beberapa gereja lainnya terbentuk di berbagai daerah Indonesia – bahkan di luar negeri – mengikuti perantauan warganya. Ada gereja-gereja setempat yang tidak menerima baik pembentukan jemaat-jemat “etnis perantau” itu, karena memahami persekutuan dalam PGI seharusnya diwujudkan dengan membiarkan warga gerejanya menjadi warga gereja setempat. Dalam kasus seperti ini diperlukan kearifan para pemimpin gereja dari kedua fihak.
Ada kondisi-kondisi sosial setempat yang memerlukan integrasi dari warga Kristen pendatang ke dalam jemaat-jemaat lokal. Ada pula yang sebaliknya, lebih baik jemaat-jemaat pendatang dilembagakan sesuai kebutuhan sosial-budaya masyarakatnya daripada tidak merasa at home berintegrasi. Keesaan dalam kepelbagaian memberi tempat kepada kedua kemungkinan. Yang diperlukan adalah percakapan dalam persaudaraan dan sling pengertian sebagai gereja Kristus yang dipanggil untuk hidup bersama dengan semua orang di setiap tempat sebagai sebagai rumah tangga Allah.
Kita akan mendengarkan lebih lanjut dari Sidang Raya Dewan Gereja-gereja Seasia (CCA), yang sedang berlangsung minggu ini di Indonesia, yang menggumuli tema “Living Together in the Household of God” (Hidup Bersama dalam Rumah Tangga Allah).
Sumber: satuharapan.com