KUPANG,PGI.OR.ID-Istilah ekobrik/ekobricks mungkin masih asing bagi separuh orang. Padahal, salah satu metode penanganan sampah plastik ini sudah diperkenalkan oleh beberapa aktivis lingkungan di sejumlah negara termasuk Indonesia sejak tahun 2000-an.
Ekoberik sesuai namanya brick yang berarti bata adalah pengolahan sampah plastik menjadi material ramah lingkungan. Caranya, sampah-sampah plastik dimasukan dalam botol plastik lalu dipadatkan dan ditutup. Botol-botol ekobrik aneka warna ini bisa dipakai sebagai pengganti batu bata untuk tembok bangunan, taman, kolam, paving block, kursi, meja dan aneka furnitur lainnya.
Lidya Tarigan, penatua jemaat GMIT Emaus Liliba-Kupang, sudah sejak 6 bulan terakhir mencoba metode ekobrik di rayon ia berdomisili. Melalui ibadah rumah tangga, dosen kesehatan lingkungan ini mengkampanyekan gaya hidup bebas sampah melalui metode kreatif juga murah biaya ini. (klik video cara pembuatan ekobrik di link ini: https://youtu.be/4Z3YjQ3n7QE)
Namun, isu sampah tentu tidak cukup menarik minat orang dewasa. Untuk menjadikan isu ini menarik ia membuat lomba berhadiah bagi anak-anak sekolah minggu. Satu botol ekobrik mendapat voucer satu bintang. Bila berhasil mengumpulkan lima botol akan mendapat hadiah peralatan tulis menulis. Alhasil, dengan lomba berhadiah ini makin banyak anak bahkan keluarga pun ikut terlibat, padahal untuk menghasilkan satu botol dibutuhkan 2 kantung plastik (kresek) ukuran paling besar.
“Anak-anak punya waktu fleksibel, itu alasan saya memulai dari mereka. Dan ketika mereka tahu kalau ini sesuatu yang menyenangkan, mereka pasti mau terlibat. Jadi saya bikin polanya, setiap ibadah hari Kamis, siapa yang membawa 1 ekobrik, dia dapat satu bintang. Bila mendapat 5 bintang, bisa ditukar dengan alat tulis-menulis. Selama 1 bulan berjalan, makin hari makin banyak yang bawa botol ekobrik. Ada satu ibu bilang dia stres sama anaknya karena sampah plastik di tetangga dia kumpulin. Bahkan satu kali ada satu anak bawa 26 botol. Saya tanya bagaimana caranya? Rupaya satu keluarga ikut kerja karena mereka mau suport dan bikin senang anak mereka,” tuturnya dengan semangat.
Sebagai dosen kesehatan lingkungan, kepada sesama warga dan anak-anak di rayonnya ia senantiasa mengingatkan bahaya dari pembakaran sampah plastik.
“Awalnya saya sering lihat di jemaat, sampah plastik itu dijadikan pemantik api. Padahal kita tahu bahwa kalau plastik dibakar, zat dioksin dari plastik itu berbahaya kalau terpapar karena bisa memicu kanker. Jadi kalau membakar plastik, tidak boleh ditunggui,” katanya mengingatkan.
Menurut Lidya, kampanye ekobrik di rayonnya cukup berhasil karena rata-rata yang hadir dalam ibadah rumah tangga di rayon mereka dihadiri 40-50 orang termasuk anak-anak. Ia berharap banyak warga jemaat mau mencoba metode kreatif ini sehingga lingkungan bisa lebih bersih. (Sinodegmit.or.id)
Be the first to comment