JAKARTA,PGI.OR.ID-Pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pengendalian perubahan iklim dunia atau Conference of Party (COP) 23 saat ini sedang berlangsung sejak 6 sampai 17 November 2017. Sebanyak 197 negara telah berkumpul membahas pelaksanaan Perjanjian Paris, yang mencakup berbagai aspek mulai dari penyelesaian ‘Rule Book‘ Perjanjian Paris, juga terkait bagaimana mengakselerasi aksi pengendalian perubahan iklim dengan mengedepankan kerjasama semua pihak dan meningkatkan tata kelola serta menciptakan pra-kondisi untuk implementasi Perjanjian Paris.
Indonesia merupakan negara yang ke 89 meratifikasi Perjanjian Paris, bahkan telah diundang-undangkan melalui UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim).
Selain itu, pada COP22 lalu di Maroko, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang telah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional sampai dengan tahun 2030. Dokumen NDC sendiri merupakan sebuah dokumen di mana setiap negara menjelaskan bagaimana besaran jumlah penurunan emisi sampai tahun 2030 dan program adaptasi serta roadmap strategy yang akan dijalankan.
Namun komitmen begitu ambisius yang tertuang dalam NDC Indonesia bertolak belakang dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, khususnya di sektor energi. Di saat banyak negara mulai meninggalkan batubara sebagai basis pemenuhan energi, Pemerintah Indonesia malah menjadikan PLTU batubara sebagai prioritas dalam pemenuhan kebutuhan listrik dalam negeri,” demikian siaran pers yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada 9 November 2017.
Menurut JATAM, komitmen Indonesia dalam NDC seharusnya bisa menjadi dasar yang cukup kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan revisi atas proyek elektrifikasi 35.000 MW. Mustahil untuk melakukan penurunan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030 jika konsumsi batubara dalam negeri terus ditingkatkan. Alhasil Indonesia tidak hanya semakin memroduksi emisi karbon dari pembakaran batubara, namun juga dari pembongkaran hutan dan lahan akibat aktifitas penambangan batubara. Padahal laju deforestasi Indonesia sudah sangat parah dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektar pertahun.
Batubara hingga saat ini masih mendominasi sumber pemenuhan listrik Indonesia. Hingga 2016 lalu kapasitas pembangkit listrik dari PLTU Batubara sebesar 21,1 GW dari total 52 GW. Seharusnya dominasi PLTU batubara yang ditekan oleh Pemerintah Indonesia, bukan malah mengundang investor untuk membiayai proyek elektrifikasi berbasis batubara. Salah satu negara yang gencar melakukan investasi di PLTU batubara di Indonesia adalah Jepang. PLTU Cirebon, PLTU Indramayu dan PLTU Batang adalah PLTU batubara yang pembangunanya disokong oleh lembaga keuangan Jepang, yakni Japan Bank for Interntional Cooperation (JBIC) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Tidak hanya membiayai PLTU batubara saja. JBIC juga telah memberikan bantuan pembiayaan tambang batubara di malinau Kalimantan Utara yang dijalankan oleh PT Mitrabara Adieprdana (PT MA).
Investasi Jepang di sektor batubara mendatangkan ancaman yang serius bagi ruang hidup dan keselamatan warga di sekitar proyek. Di Cirebon, Indramayu dan batang, petani dan nelayan mengalami kerugian parah akibat lahan dan perairan di sekitar PLTU tercemar oleh limbah. Di Malinau, tambang batubara PT MA menyebabkan tercemarnya Sungai Malinau akibat tanggul penglahan limbah batubara yang jebol.
Atas hal terebut, JATAM memandang, bahwa sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar terdiri atas wilayah laut dengan 17.000 lebih pulau disertai garis pantai sepanjang 80.000 km, COP 23 mestinya menjadi momentum panting bagi Indonesia, sebab sebagai salah satu negara yang paling rentan dengan dampak perubahan iklim, COP 23 seharusnya menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmen penurunan emisinya dan menuntut negara-negara lain menghentikan investasi di sektor batubara, khsusunya di Indonesia.
Bukan hanya mengamini solusi palsu perubahan iklim yang ditawarkan, yang salah satunya adalah Clean Coal Technology. Karena sejatinya batubara tidak akan menjadi sumber energi yang benar-benar bersih.
Be the first to comment