JAKARTA,PGI.OR.ID-Simposium Biblika Tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang dilaksanakan oleh Bidang Keesaan dan Pembaruan Gereja (KPG) PGI pada hari Senin-Selasa ( 9-10/1), di Lt 3 Grha Oikoumene, Jakarta, menyimpulkan bahwa sebagai isu kontroversial LGBT tidak bisa dilihat secara hitam putih, bahkan tidak bisa dilihat hanya sebagai konflik antara agama dan sains. Di kalangan sains ataupun agama sendiri, ada pemahaman yang tak seragam.
Disimpulkan pula, isu LGBT amat pelik dan ini terbukti dalam sejarah panjang isu tersebut. Kompleksitas isu gender ini disebabkan terlibatnya juga tindak diskriminasi, represi, dan kekerasan, yang semuanya itu merupakan penyimpangan moral sosial. Soal moral dalam isu ini juga tidak selesai dengan pendekatan agama, terutama kitab suci. Kitab yang sama dibaca oleh umat, hasilnya adalah dua sikap pro kontra yang masing-masing mengklaim alkitabiah.
Meski demikian, sebagai titik berangkat perlulah minimal disepakati apa itu hakikat manusia, dalam kondisi apa dan siapa pun, adalah makhluk yang tercipta menurut gambaran (citra) Allah.
Sedangkan keberpihakan PGI tidak pada kontroversi pro kontra, melainkan pada landasan teologis-eklesiologis dalam konteks memperjuangkan keadilan dan pro kehidupan. Keberpihakan dan aksi gereja harus berlandaskan dasar teologis gereja sebagai paguyuban orang beriman dan dalam ekspresi imannya kepada Allah yang mahakasih.
Selain itu, tafsir atas teks-teks Alkitab pada akhirnya tidak dalam kerangka nilai-nilai yang diklaim universal, apalagi kalau nilai-nilai itu adalah sesuatu yang tidak operasional di Indonesia. Karena itu, kesimpulan tafsir ataupun implikasi lanjutannya tidak boleh melupakan unsur lokal dan konteks Indonesia.
Simposium Biblika Tentang LGBT yang menghadirkan nara sumber Prof. Gerrit Singgih, Ph.D, diikuti sekitar 30 orang mewakili dosen Biblika dari STT-STT di Indonesia anggota PERSETIA, Komisi Teologi PGI, dan MPH PGI. Tujuan dari simposium ini yaitu PGI memiliki kajian akademis dalam perspektif Biblika mengenai isu LGBT.
Perdebatan LGBT
Perdebatan mengenai LGBT di Indonesia kembali panas pada tahun 2015 sejak disahkannya pernikahan sejenis di 23 negara bagian di Amerika Serikat, bulan Juni 2015 yang lalu. Pun jika kita menengok sejarah, perdebatan panjang soal LGBT bukan hal baru dalam peradaban kemanusiaan.
Di Indonesia, gugatan soal perzinahan pada LGBT masuk ke Mahkamah Konstitusi dengan pengujian Pasal 284, 285 dan 292 KUHP. Penggugat meminta kumpul kebo (pernikahan tidak dicatatkan), homoseksual dan perkosaan sesama jenis dipenjara. Menyikapi pro kontra yang terjadi di Indonesia, seluruh lembaga agama mengeluarkan sikapnya terhadap LGBT.
Pada konteks tersebut, PGI sebagai salah satu lembaga keumatan di Indonesia mengeluarkan surat Pastoral PGI tentang LGBT yang disampaikan kepada gereja-gereja anggotanya. Surat tertanggal 17 Juni 2016 telah menimbulkan beragam respon baik yang pro maupun yang kontra terhadap pernyataan pastoral tersebut. Padahal, maksud dan tujuan surat pastoral tersebut adalah sebagai bentuk respon gereja terhaap diskriminasi yang dialami oleh LGBT. Respon yang datang tidak hanya berasal dari sinode-sinode gereja anggota PGI namun juga dari berbagai kalangan dan lembaga di luar keanggotaan di PGI.
Respon yang bermunculan, baik dari kelompok yang menerima surat pastoral tersebut, maupun yang menolak, disampaikan berdasarkan berbagai sudut pandang dan argumentasi. Mulai dari argumentasi yang bersifat scientific, seperti: biology, genetika, psikology, psiaktri, hingga yang berakar pada argumentasi teologis yang berangkat dari teks-teks Alkitab dan ajaran agama.
Gereja menyadari bahwa fenomena LGBT yang sudah muncul sejak lama itu merupakan pergumulan yang tidak sederhana, bahkan merupakan diskursus dalam ruang keprihatinan yang kompleks. Dikatakan keprihatinan yang kompleks, sebab diskursus tentang LGBT di satu sisi tidak dapat dibincangkan lepas dari situasi diskriminatif, marginal dan pejoratif.
Di sisi yang lain adalah bahwa fenomena LGBT bukanlah fenomena yang dapat diperbincangkan secara tunggal dari satu faktor dan dimensi tertentu saja. Memperbincangkan LGBT akan memasuki beragam ruang dan wacana yang telah berkelindan sedemikian rupa mengitari fenomena LGBT tersebut. Ruang dan wacana tersebut muncul mulai dari dimensi sosial, budaya, politik, hingga dimensi ke-agama-an, mulai faktor biologis hingga psikologis.
Namun disadari juga, bahwa perspektif agama yang berbasis pada ayat-ayat pada kitab suci dan ajarannya sangat mempengaruhi cara pandang dan pemahaman menyangkut fenomena LGBT tersebut. Apa yang terjadi dan yang dialami oleh orang-orang LGBT tidak dapat dilepaskan sebagai akibat dari cara pandang agama terhadap keberadaan LGBT itu sendiri. Pada titik ini, masalah perbedaan hermeneutik atau metode tafsir kitab suci menjadi persoalan yang cukup mendasar dalam membaca ayat-ayat yang berkaitan dengan isu homoseksualitas tersebut. (Pdt. Sri Yuliana)