Kasus intoleransi menyembul di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden (pilpres) merupakan masalah serius bangsa. Intoleransi bukan sekadar masalah biasa, namun ia mengancam eksistensi republik ini. Intoleransi menjadi musuh utama terwujudnya nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kasus intoleransi yang terbaru tersuguh dari keteduhan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), awal Juni. Pelarangan ibadat Paskah di Gunung Kidul; penyerangan umat Katolik di Banteng, Ngaglik, Sleman; serta perusakan dan penyegelan gereja di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Aksi tersebut tentu sangat mengusik ketenteraman warga DIY khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kedamaian yang telah terajut lama seakan terempas aksi-aksi tak beradab tersebut.
Bangunan demokrasi Nusantara penuh keramahan, kesantunan, dan kesahajaan pun ambruk. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa aksi-aksi intoleran itu muncul di tengah ruang publik yang begitu luas di era Reformasi sekarang?
Etos Global
Persoalan yang dihadapi agama-agama dalam pembangunan perdamaian bukan soal kompetensi, melainkan komitmen dan kapabilitas. Komitmen merupakan kata utama membangun bina damai. Tanpa komitmen yang kuat dari diri sendiri dan lingkungan, akan sulit membangun perdamaian abadi.
Setelah terbangun komitmen, hal kedua adalah kapabilitas yang mumpuni. Artinya, kemampuan seseorang mengelola kebersamaan menjadi kata kuncinya. Kapabilitas seorang pemeluk agama adalah menjaga orang lain, seperti ia menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah dua hal itu terbangun, yang perlu ada dalam diri seseorang adalah etos global.
Hans Kung memberi argumentasi tentang alasan perdamaian memerlukan sebuah etos global yang mendukung koeksistensi damai semua umat manusia dalam sebuah rumah bersama itu, kein uberleben ohne weltethos (tidak ada keberlangsungan kehidupan umat manusia tanpa etos global; kein weltfriede ohne religionsfriede(tidak ada perdamaian dunia tanpa ada perdamaian di antara agama-agama); dan kein religionsfriede ohne religionsdialog (tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antaragama).
Trilogi perdamaian Hans Kung di atas adalah ungkapan yang paling padat, mencakup tuntutan bagi semua agama di dunia, untuk memulai babak baru membangun perdamaian dunia berdasarkan etos bersama, etos yang mengalir keluar dari oase kekayaan spiritualitas dalam agama-agama itu sendiri, bukan sebuah etos hasil rekayasa sosial yang datang dari luar oase kekayaan spiritualitas agama-agama tersebut (Robert B Baowollo, 2010).
Asas Kebangsaan
Dialog menjadi sebuah keniscayaan. Dialog dan musyawarah menjadi mantra kehidupan. Musyarawah bukan sekadar mencari kata sepakat, melainkan menggali ide dan gagasan besar untuk hidup rukun tanpa prasangka.
Persangkaan hanya dapat luntur ketika para pihak mampu duduk semeja dan berhubungan tanpa sekat. Prasangka sering kali muncul karena setiap anggota masyarakat tak terhubung dalam komunitas beradab (bonnum communie), meminjam istilah Habermas.
Konsepsi musyarakat itu termaktub dalam butir Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tatanan masyarakat harus terbangun dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil sejak di alam pikiran akan membuka ruang dialog tanpa prasangka.
Jika dalam pikiran kita terperangkap “racun” penuh kedengkian dan kebencian, ruang dialog sulit terbangun. Berbeda jika ruang alam bawah sadar dipenuhi keyakinan bahwa keberagamaan tak akan pernah melukai maka kehidupan beradab akan terwujud.
Kehidupan beradab adalah yang kita pikirkan menginspirasi tindakan. Setiap tindakan senantiasa didasarkan sikap sportif, welas asih, dan kemanusiaan yang mulia.
Saat ketiga hal itu mewujud dalam keseharian manusia, ia akan bertindak atas dasar akal sehat. Akal sehat akan menuntun umat menuju penghargaan diri dan lingkungan. Ego sektoral pun akan lenyap dengan sendirinya.
Dengan demikian, aksi intoleran merupakan bukti betapa lemahnya pemahaman diri dan lingkungan seseorang. Mereka bertindak atas ego yang memaksanya keluar dari kemanusiaan yang beradab.
Inilah yang kemudian menyebabkan kerapuhan demokrasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama terkurung dan terkungkung dalam sekat primordial. Sekat itu bahkan sering didasarkan kepada pemaknaan realitas keagamaan.
Demokrasi yang membuka ruang publik ternyata masih menyisakan persoalan serius, yaitu ketidakmampuan seseorang memaknai kebebasan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, kerapuhan itu tak begitu saja disebabkan pemaknaan sempit seseorang.
Peraturan pemerintah sering malah memicu timbulnya kebencian tersebut. Sebagai contoh, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang rumah ibadah. Peraturan itu kerap dijadikan tameng sekaligus pembenaran oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindak intoleran. Oleh karena itu, sudah selayaknya SKB tersebut dicabut guna menjamin berlangsungnya kehidupan penuh keadaban berperikemanusiaan.
Akhirnya, aksi intoleransi yang tersaji di Nusantara merupakan bukti nyata, betapa keberagamaan di republik ini belum tersemai berdasarkan asas kebangsaan. Keberagaman sering kali masih dipenuhi keraguan dan kecurigaan (prasangka) karena kurangnya dialog. Kebuntuan dialog pun kadang muncul dan “ditumpangi” peraturan pemerintah yang tak memihak iklim demokrasi.
Semoga pemimpin terpilih mendatang mampu mengubah wajah demokrasi menjadi ramah terhadap keberagamaan.
Benni Setiawan adalah dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, peneliti di Maarif Institute for Culture and Humanity.
Artikel ini telah diterbitkan di sinarharapan.com pada 25 Juni 2014.
Be the first to comment