Intoleran Mekar di Pandemi

Aksi penolakan pembangunan Gereja Bethany di Ponorogo, Jawa Timur. Foto: cakrawala.co

Covid-19 membawa dampak dalam kehidupan baik kesehatan, Sosial dan Ekonomi dll begitu juga dalam kehidupan masyarakat di tengah masa pandemi ini  yang berkaitan tindakan intoleransi ditahun 2020 hingga 2021. Masih ingatkah kita di medio April 2020  dua bulan setelah COVID-19 dinyatakan masuk ke Indonesia, peribadatan di rumah seorang penganut Kristen di Cikarang Pusat digerebek oleh warga sekitar dengan alasan melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat itu mengatakan “beribadah adalah hak setiap warga” dan apa yang dilakukan keluarga tersebut “sudah sesuai anjuran.” Apa dilarang dalam PSBB di banyak tempat–termasuk DKI Jakarta–adalah mengumpulkan massa di tempat umum, dan yang tidak dianjurkan adalah beribadah di rumah ibadah.

Selain itu Kasus-kasus intoleransi lain yang terjadi selama pandemi di antaranya: sekelompok orang mengganggu ibadah jemaat HKBP KSB di Kabupaten Bekasi . Pada 13 September 2020 sekelompok warga Graha Prima Jonggol menolak ibadah jemaat Gereja Pantekosta.  Pada 20 September 2020 umat Kristen di Desa Ngastemi, Kabupaten Mojokerto, September 2021 belum lama ini di Sintang Kalimantan Barat terjadi pembakaran Masjid Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok Intoleran.

Indonesia sebagai negara multikultural  menghadapi tantangan serius ada yang  menunjukkan upaya eksploitasi perbedaan dan penolakan kemajemukan. Salah satu akar yang ditengarai sebagai penyebab adalah ketidakadilan ekonomi. Untuk mencari jawaban atas ketidakadilan yang dihadapi maka kaum intoleran  menggunakan perbedaan ras, warna kulit,  bahkan agama ka paling mudah dimobilisasi. Peningkatan trend intoleransi jelas membahayakan bukan hanya semakin menebalkan kebencian, intoleransi juga akan meningkatkan resiko kekerasan terhadap kelompok-kelompok tertentu, khususnya kelompok minoritas.

Merayakan kebhinekaan tanpa intoleransi bersama Pancasila

Pemahaman Pancasila sebagai dasar negara hingga saat ini dipandang masih sebatas pelafalan tekstual, dan masih sangat minim dalam pendalaman, khususnya dalam bangku pendidikan formal.  Hal tersebut dapat diketahui bahwa Pancasila bukan merupakan suatu ideologi yang bersifat kaku, namun Pancasila bersifat reformatif, dinamis dan terbuka.  Hal ini dapat dilihat dimana Pancasila senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Namun demikian, berdasarkan konsep eksperiental, sampai dengan saat ini pancasila masih sangat minim dalam hal pendalaman dan implementasinyapun masih sangat kurang ditanamkan di dalam bangku pendidikan formal di Indonesia.

Para Founding fathers seperti Ir. Soekarno, mencetuskan Pancasila sebagai dasar negara merupakan hal yang sangat mulia yakni menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu menjawab tantangan zaman.Lebih jauh lagi para pendiri bangsa menginginkan bagaimana Pancasila bisa mengakar pada ideologi masyarakat yang berbeda baik suku, budaya, bahasa dan agama menjadi harmonis dalam satu kesatuan.Tidak bisa dihindari bahwa perbedaan  dalam negara senantiasa menimbulkan gesekan dan potensi konflik. Fenomena sosial seperti ini bila terus dibiarkan akan melahirkan bibit-bibit pemikiran  intoleran dan radikal.

Ada beberapa hal yang bisa memicu tindakan-tindakan radikal, diantaranya pemahaman tafsir agama yang salah, Frustasi dan dipinggirkan. Secara jujur, bila kita melihat kondisi dan fakta, masih ada daerah-daerah yang terpinggirkan, dan belum mendapatkan keadilan dalam hal pembangunan. Finansial lebih diutamakan sebagai aset, ketimbang rakyat. Kearifan lokal tergerus dan secara tidak sadar rakyat digiring menjadi manusia konsumtif.  Nyatanya, hingga hari ini, masih banyak yang menganggap pancasila sebagai semboyan pelafalan saja, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Bila dikaji kembali, mengapa keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang dapat menjadi filter bagi masuknya berbagai ancaman dari luar dirasa kurang berhasil, dan apa sebabnya?Keberhasilan membuat perangkat hukum yang baik belum tentu memberikan dampak positif dalam mewujudkan maksud dan tujuan hukum.

Sebagus apapun produk hukum formal yang ada tidak akan ada artinya tanpa disertai penerapan yang baik. Ironisnya, Indonesia dipandang sebagai negara yang pandai membuat perangkat hukum namun masih lemah penerapannya. Hal ini jika dibiarkan akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.  Intoleransi dan Radikalisme masih tetap berlanjut di Indonesia, padahal Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi? kehadiran terorisme seakan menggerus ideologi Pancasila yang selama ini dijadikan landasan hidup bagi masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.

Sumber pokok kesalahan tidak terletak pada Pancasila. Tak ada yang salah dengan Pancasila karena isi Pancasila tidak melenceng dari nilai-nilai yang ada. Kesalahan yang sesungguhnya terletak pada penerapan Pancasila sebagai ideologi. Hal itu terjadi karena banyaknya masyarakat Indonesia tidak menerapkan nilai-nilai Pancasila dengan benar. Terlebih para kaum intoleran dan  teroris, mereka adalah orang-orang yang tidak melaksanakan isi Pancasila. Mereka mengerti dan memahami Pancasila namun tidak menerapkannya dalam kehidupannya. Pengelolaan manajemen kebangsaan  menjadi tanggung jawab negara tetapi tentu saja seluruh komponen bangsa Indonesia perlu mengambil bagian, Pancasila sebagai system nilai, system pengetahuan dan system perilaku  membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Maka dari itu, pengembangan “kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun justru pada titik itulah simpul terlemah dari proses Pendidikan dan pengembangan  yang terjadi selama ini.

Saat ini perlu ada terobosan untuk menyambungkan nilai-nilai Pancasila dengan kebijakan publik. Seluruh Kementerian dan Lembaga Pemerintah/ penyelenggara negara baik di pusat maupun  daerah harus senantiasa menjunjung tinggi etika, nilai-nilai moral bangsa, meningkatkan disiplin dan etos kerja, serta menjaga keharmonisan kehidupan beragama, sehingga memiliki jati diri bangsa yang kokoh dalam menghadapi pengaruh globalisasi.

Jika Pancasila dikehendaki kesaktiannya sebagai ideologi ada lima jalur yang harus ditempuh.

  1. Melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila, hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila.
  2. Mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui penumbuhan budaya kewargaan berbasis nilai-nilai Pancasila serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras dan golongan.
  3. Mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan system ekonomi dan pembangunan berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya praktik ekonomi berkeadilan sos
  4. Menguatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila ke produk perundang-undangan, kebijakan publik serta lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan.
  5. Menumbuhkan, mempromosikan dan mengapresiasi keteladanan agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai Panca

 

Penulis: Sapta Baralaska Utama Siagian