In Memoriam: Pdt. Margareth Dharma-Angkuw

pdt Margareth Dharma-Angkuw ketika merayakan HUT ke 90 di RS PGI Cikini, Jakarta

JAKARTA,PGI.OR.ID-Gereja-gereja di Indonesia, bahkan dunia, kembali kehilangan seorang tokoh gerakan oikoumene. Sabtu (31/10), Tuhan telah memuliakan Pdt. Margareth Dharma-Angkuw (90). Tentu banyak yang merasa kehilangan atas kepergian janda dari Pahlawan Nasional, Laksamana John Lie ini.

Sosok yang biasa disapa Pdt. Dharma Angkuw ini, memang tidak asing lagi terutama bagi mereka yang aktif dalam gerakan oikoumene. Perempuan pertama yang lulusan STT Jakarta (1955) ini, pernah menjabat sebagai anggota BPH-DGI (sekarang MPH PGI), dan tercatat sebagai perempuan pertama yang ada dalam struktur kepengurusan di PGI.

Selain itu perempuan kelahiran 11 Oktober 1925 ini, juga salah seorang pendiri Asia Christian of Women Conference (ACWC), yang hingga kini merupakan satu-satunya organisasi perempuan di tingkat Asia yang hingga kini aktif dalam gerakan solidaritas untuk perempuan di Asia.

Dimata Pdt. Henriette Hutabarat-Lebang Ketua Umum PGI, Pdt Dharma Angkuw adalah sosok seorang pelopor dalam gerakan oikoumene di Indonesia dan di Asia, terutama dalam meningkatkan peran perempuan dalam gereja dan masyarakat.

“Saya sangat terinspirasi oleh kesetiaannya hadir dan aktif memberi sumbangan pemikiran dalam percakapan-percakapan oikoumenis, walaupun ketika itu partisipasi perempuan masih sering diabaikan. Bersama dengan Ibu Tine Frans, Ibu Pdt Dharma Angkuw dan beberapa Ibu lainnya, menerobos dominasi kaum pria saat itu dan mendemonstrasikan kenyataan yang terabaikan bahwa perempuan juga mempunyai karunia yang dapat dipersembahkan untuk membangun tubuh Kristus dan melayani masyarakat,” paparnya.

Ditambahkan, gaya kepemimpinan dan talenta perempuan mungkin berbeda dengan yang dimiliki laki-laki, namun justru itu mereka dapat saling melengkapi dalam pelayanan. Sebagai seorang pionir perempuan dalam jabatan gerejawi sebagai pendeta, Ibu Dharma Angkuw selalu mendorong para mahasiswa teologi perempuan dalam mengembangkan keyakinan diri dan memperlengkapi diri sebagai pemimpin.

“Sedikitnya inilah pengalaman pribadi saya bergaul dengan beliau yang sudah menjadi pendeta GPIB dan anggota perempuan pertama sebagai BPH DGI, sekarang MPH-PGI, ketika saya masih mahasiswa di STT Jakarta,” jelasnya.

Lebih jauh Pendeta Henriette mengatakan: “Sebagai pemimpin perempuan, Ibu Dharma Angkuw aktif dalam kelompok kerja wanita DGI, merancang berbagai pertemuan wanita gereja lingkup nasional. Beliau juga aktif mempromosikan Fellowship of the Least Coin, gerakan doa perempuan Asia yang ketika berkumpul berdoa bersama juga nengumpulkan mata uang terkecil yang diperuntukkan bagi membantu program-program kemanusiaan di Asia. Beliau juga ikut aktif pada awal pembentukan Asian Church Women Conference (ACWC). Selama bertahun-tahun, beliau membaktikan hidupnya untuk melayani pasien yang dirawat di rumah sakit PGI Cikini serta pendampingan pastoral bagi keluarga pasien maupun semua tenaga medis di RS ini.”

“Kita syukuri hidup dan pelayanan Ibu Pdt Dharma Angkuw. Bagi saya pribadi Ibu Dharma Angkuw adalah sosok ibu yang istimewa, bukan hanya karena tanggal lahir kami yang sama-sama 11 Oktober, tetapi terutama karena hidupnya yang telah menjadi contoh bagi banyak orang. Selamat jalan Ibu Pdt Dharma Angkuw, sekalipun Ibu tidak lagi bersama kami, namun suara Ibu masih terdengar terus, mendorong perempuan untuk bekerjasama dengan laki-laki untuk membawa damai sejahtera bagi semua,” tandas Pendeta Henriette.

Selama lebih dari 40 tahun Pdt. Dharma Angkuw mengabdikan dirinya di Bidang Kerohanian RS PGI Cikini, Jakarta. Ketika beliau merayakan HUT ke 90, salah seorang rekan seprofesinya Pdt Marudut Manalu, menuturkan: Pdt. Dharma Angkuw adalah sosok yang disiplin, baik dalam waktu, pola makan maupun dalam menata kehidupan. “Dia sosok yang tangguh. Kita banyak belajar dari beliau. Kiranya generasi muda bisa menirunya.”

Dalam sebuah wawancara, Pdt. Dharma Angkuw mengatakan ketertarikannya dalam pelayanan pastoral di rumah sakit karena melihat pelayanan ini sangat dibutuhkan. Banyak pasien bukan saja menjadi sakit karena dalam tubuhnya ada sesuatu yang tidak berfungsi benar, melainkan banyak penyakit disebabkan oleh hal-hal lain di luar tubuhnya. Untuk itu, melalui pendekatan pastoral dapat membantu pasien secara psikologis, sehingga dia mau mengungkapkan apa yang terjadi dengan dirinya.

Selamat jalan Pdt. Dharma Angkuw. Teladan dan pengabdianmu tidak akan kami lupakan!

Editor: Jeirry Sumampow