KUPANG,PGI.OR.ID-Perayaaan HUT GMIT ke-70 dan 500 Tahun Reformasi memasuki sebuah babak baru dalam relasi Gereja Protestan dan Gereja Katolik. Jika sebelumnya reformasi Gereja dipahami sebagai peristiwa perpecahan Tubuh Kristus, 500 tahun hari ini kedua gereja menjadikan peringatan ini sebagai momentum kebersamaan.
Di Kupang-NTT, perayaan 500 Tahun Reformasi yang juga bertepatan dengan HUT GMIT ke-70, Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang bersama beberapa imam dan suster turut hadir dalam ibadah syukur yang berlangsung di Jemaat GMIT Syalom-Kupang, Selasa (31/10).
Dalam pesan pastoralnya, Uskup Agung Kupang menyambut dengan senang hati kedua perayaan bersejarah ini sebagai moment historis yang menantang. “Gereja Katolik dengan rasa syukur ikut menyambut peringatan 500 tahun reformasi dan 70 tahun GMIT, sebagai suatu moment historis yang menantang dalam perjalanan para murid Kristus. Menantang, karena peristiwa bersejarah itu, meninggalkan perpecahan dengan aneka luka yang menciderai kemanusiaan dalam Tubuh Kristus,” katanya.
Ia mengakui bahwa peristiwa reformasi Protestan tak lepas dari kekeliruan dan kelemahan dalam Gereja Katolik pada masa itu terutama para pemimpin gereja yang tidak mau melakukan perubahan dan pembaharuan diri.
Oleh karena itu melalui perayaan 500 tahun reformasi saat ini, Uskup Petrus Turang, menyerukan adanya gerakan bersama semua gereja yang rekonsiliativ dalam keberagaman. Dunia, kata Uskup Turang, akan menghargai kekritenan bila umat kristen/gereja semakin terbuka untuk melakukan suatu gerakan bersama bagi perdamaian dunia dalam keberagaman praktik hidup.
“Kenangan reformasi 500 tahun mudah-mudahan menjadi saat mulia untuk penyatuan dan pemulihan sebagai kesaksian bersama akan Kristus dan Injil-Nya. Dengan saling percaya kolaborasi rekonsiliativ gereja-gereja pada gilirannya akan menyokong kehidupan budaya dan politik yang sehat serta bersahabat dalam bingkai kebhinekaan berbangsa yang berwatak Pancasila,” ungkap Turang.
Kendati menurut Uskup Turang, perjalanan menuju kebersamaan gereja-gereja tidaklah mudah, namun hal itu mesti terus-menerus diupayakan.
“Dalam upaya perjalanan menuju kebersamaan, bersaudara, sebagai murid Yesus Kristus memang masih ada banyak kendala, tapi kita berusaha agar supaya kita hidup dalam lingkungan yang senantiasa mengupayakan suatu kebersamaan yang semakin pulih dari rasa curiga dan rasa menyalahkan satu sama lain supaya kehadiran gereja-gereja kristiani menjadi terpercaya.”
Pada kesempatan yang sama, Ketua Majelis Sinode (MS) GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon dalam suara gembalanya, menyebut momentum kebersamaan kedua gereja, Protestan dan Katolik ini sebagai wujud pemeliharaan Tuhan kepada Gereja yang adalah Tubuh-Nya sendiri. Bahwa kegagalan gereja menjaga kesatuan tidak meniadakan kasih Allah yang besar.
“Terima kasih untuk kehadiran Bapak Uskup, para imam dan para suster. Kami sungguh-sungguh mensyukuri pimpinan Tuhan yang memungkinkan kita dapat merayakan bersama pesta iman ini. Tuhan sungguh memelihara gereja-Nya, Tubuh-Nya sendiri. Kegagalan dan kelemahan kita tidak meniadakan kasih-Nya yang besar,” kata Pdt. Mery.
Perayaan kebersamaan antara dua gereja yang ditandai dengan hadirnya Paus Fransiskus serta para pemimpin gereja reformasi sedunia di Wittenberg-Jerman, pada 31 Oktober, menurut Pdt. Mery, menjadi momentum pengakuan dosa dan pertobatan bukan untuk membanggakan dan merayakan perpecahan.
Pdt. Mery pada kesempatan ini juga mengajak semua denominasi dan agama-agama di NTT agar duduk bersama mencari cara yang tepat guna menghadirkan keadilan, kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan di tengah dunia ini.
Sementara itu ketua Persekutuan Gereja Protestan di Indonesia (GPI) Pdt. Dr. Liesje Sumampouw, menyampaikan ucapan selamat bagi GMIT di usia ke 70. Ia mengatakan bahwa di 500 tahun reformasi ini gereja perlu belajar dari sejarah kelam masa lalu dan selanjutnya mengupayakan model eklesiologi yang merangkul dan saling memberdayakan sesuai konteks di mana gereja hadir.
“Kita sementara mencari model eklesiologi yang merangkul, yang saling memberdayakan dan inklusiv, misioner dan terbuka. Oleh karena itu sebagai gereja induk kami memanggil kita semua untuk membangun jembatan-jembatan dinamis yang menghubungkan jurang pemisah yang pernah ada dalam sejarah gereja dan sejarah bangsa agar kita selalu mengambil bagian konstruktiv dalam memelihara persaudaraan di tanah kita sendiri,” ujar Pdt. Sumampouw.
Ibadah syukur puncak kegiatan perayaan HUT GMIT dan Reformasi dipimpin oleh Pdt. Prof. Dr. Samuel B. Hakh. Selain ibadah syukur, puncak acara perayaan dibarengi dengan peresmian prasasti dan penganugerahan teladan kesetiaan pelayanan kepada beberapa orang yakni guru honor, utusan Injil, janda/duda emeritus, koster dan pengajar. (gmit.or.id)
Be the first to comment