JAKARTA,PGI.OR.ID-Tiga persoalan yaitu hoaks, isu suku ras dan agama, serta politik uang menandai pemilu di Tanah Air dalam kondisi darurat. Namun, semangat untuk mengubah jargon-jargon tersebut semakin menguat.
“Ada kecenderungan jargon bernuansa suku, ras, dan agama, serta hoaks mulai ditinggalkan. Yang masih menjadi masalah adalah politik uang. Politik uang dianggap kebiasaan yang lumrah menjelang pemilu di mana pun,” kata Ketua KPU Arief Budiman dalam diskusi publik “Darurat Pemilu 2019” di kantor CSIS, Jakarta, Kamis (27/9).
Dari berbagai riset, menurut Arief, yang semula peserta pemilu mencari pemilih dengan memberikan uang agar mendapatkan suara, kecenderungan kini sebaliknya. Pemilih cenderung meminta uang atau barang kepada kader parpol melalui perwakilan. “Bagusnya, peserta pemilu kini mulai sadar, memberikan berapa pun jumlah uang belum tentu suara yang didapat sesuai dengan harapan,” ujar dia.
Mencermati kondisi tersebut, KPU tidak akan memberikan ruang sedikit pun praktik suap menyuap seperti itu. “Baik yang menyuap maupun disuap, kami tindak. Kami akan umumkan ke publik biar mereka malu. Sebaiknya, kini yang dikedepankan pertarungan ide,” katanya.
Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti berpendapat, kedaruratan pemilu banyak terjadi pada masa tahapan. Secara umum, kedaruratan pemilu juga bisa terlihat dalam indeks kerawanan pemilu. “Praktik politik uang, DPT bermasalah, kekerasan fisik, manipulasi suara, dan netralitas PNS, mengindikasikan kerawanan itu,” katanya.
Menurut Ray, dari tahun ke tahun persoalan tersebut selalu berulang. Terpenting, kini harus ada perubahan lebih serius dalam menanganinya. “KPU dan Bawaslu perlu memberikan jawaban. Terutama Bawaslu ya,” ujar dia.
Peneliti CSIS Arya Fernandes berharap, isu identitas yang sempat merebak saat Pilkada DKI Jakarta, tidak lagi mencuat dalam Pilpres 2019. Namun, isu tersebut kemungkinan masih terjadi di sejumlah daerah. “Hanya saja tidak bisa kembali dijual terutama di wilayah atau kota besar. Efek suara tidak ada. Identitas bagi publik saat ini tidak lagi penting. Beda dengan isu ekonomi. Isu ekonomi ini akan menjadi kekuatan kedua kubu,” katanya.
Menanggapi persoalan kedaruratan pemilu, Ketua DPP PPP Lena Marayana Mukti mengatakan, praktik politik uang sudah dalam taraf sangat memprihatinkan. Dia mengaku pernah mengalami pengalaman buruk. “Saya pernah kunjungan di salah satu daerah dan justru diminta (uang). Parahnya, mereka adalah masyarakat menengah atas. Kelas menengah lho, bukan masyarakat bawah,” ujar dia.
Menurut Lena, kasus semacam ini menunjukkan edukasi kepada masyarakat tentang arti penting pemilu belum cukup. “Nah di sinilah tugas KPU menghadirkan kesadaran di masyarakat. Selain itu, perlu keseimbangan antara KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas. Keseimbangan tersebut perlu ada demi pemilu bersih dan adil,” tutur dia. (harnas.com)
Be the first to comment