Hidup dari Pengharapan adalah soal mempertanggungjawabkan iman Kristen (pengharapan) di tengah kehidupan, demikian ungkap Pdt. A. A. Yewangoe, salah satu pembicara dalam diskusi kedua yang diadakan menyongsong perayaan 500 tahun reformasi (1517-2017); berlangsung pada tanggal 16 Mei 2017 di gedung BPK Gunung Mulia (BPK GM), Jl. Kwitang No. 22-24, Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh BPK GM, bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dan Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI). Selain Yewangoe, pembicara lain yang hadir adalah Rm. Benny Susetyo dan Fajar R. Ul Haq.
Dalam diskusi ini, pergulatan reformasi hendak dibaca dengan bertolak dari pergumulan masa kini, sebagaimana ditangkap dalam buku Hidup dari Pengharapan karya Yewangoe. Buku ini memuat sejumlah catatan reflektif mengenai gerakan oikoumene, masalah kepemimpinan, persoalan tanah, gereja dan politik, kebudayaan, sampai masalah penderitaan. Dari kacamata Susetyo, salah satu pembicara, buku ini dibaca sebagai upaya berteologi dalam konteks Indonesia, di mana pengharapan bergerakĀ di dalam pergulatan. Di sini Penulis (Yewangoe), menurut Susetyo, hendak menarikĀ agama agar bergerak ke arah pembebasan, dengan demikian tidak terperangkap dalam bahasa formalistik. Fajar, pembicara berikutnya, merumuskan hal tersebut sebagai upaya mengembalikan harkat martabat manusia. Di tengah globalisasi yang membawa benturan antarkelompok, semangat reformasi justru mengambil posisi untuk berpijak pada harkat martabat manusia. Hal ini, menurut Fajar, tergambar dalam sejumlah catatan Yewangoe di buku Hidup dari Pengharapan.
Dalam presentasinya, Yewangoe memandang reformasi sebagai sesuatu yang dinamis; ada proses pembaruan yang berlangsung terus-menerus (ecclesia reformata, semper reformanda). Dan akhir-akhir ini, hal yang dinamis tersebut seperti lenyap dalam kehidupan agama. Di sini Yewangoe menyoroti imperialism bahasa di mana bahasa agama digunakan secara paksa di luar dunianya. Ini tampak pada gejala mengafirkan orang lain yang belakangan berlangsung di tengah masyarakat. Yewangoe kemudian menggariskan pentingnya agama-agama di Indonesia menemukan tujuan bersama mereka. Dan dalam keyakinannya, hal tersebut (tujuan bersama) ada di dalam Pancasila.