
SIBOLANGIT, PGI.OR.ID – Ada berbagai bentuk erupsi atau ledakan yang kita alami dalam hidup, bukan hanya erupsi gunung berapi yang dahsyat, tetapi juga ledakan kemarahan hati manusia yang sering tidak bisa dikendalikan sehingga menyakiti sesamanya. Demikian diungkapkan Ketua Umum PGI, Pdt Henriette Lebang dalam ceramah tema Sidang Sinode XXXV GBKP, Minggu (12/4) di RC Sukamakmur, Sibolangit.
Menurut Pendeta Henriette, selama 5 tahun warga sekitar gunung Sinabung mengalami penderitaan, menderita bahkan membuat hati kehilangan semangat hidup karena masa depan sirna. Di tengah kebingungan, perasaan takut dan kecewa serta kehilangan harapan, Allah ternyata tidak jauh dari mereka.
Allah menghibur mereka dan menguatkan mereka dengan firman-Nya, sebagaimana yang disaksikan dalam Yesaya 54:10, sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damaiKu tidak akan bergoyang.
“Kita sering mengalami pencobaan baik dari dalam diri kita maupun dari luar diri kita, yang motifnya tidak lain untuk melunturkan, mengaburkan bahkan membuat kita menyangkal penebus kita, baik lewat kata maupun pemikiran dan tindakan. Tidak sedikit dari kita termasuk pengikut Kristus yang sering menerima godaan dan pencobaan dari luar diri kita atau membiarkan diri kita dicobai oleh berbagai daya tarik dunia ini yang menyilaukan mata kita sehingga kita dikuasai oleh rupa-rupa roh dunia ini, seperti: cinta uang, kecenderungan menumpuk materi atau kekayaan dan sikap egoisme,” kata Pendeta Henriette.
Lanjut Henriette, jika kita mengalami penderitaan, mungkin saja itu adalah cara Allah untuk menegur kita, mendidik kita, atau pun untuk mematangkan atau memurnikan iman kita. Dengan kata lain, penderitaan atau kesulitan yang kita hadapi diijinkan Allah untuk menjadi saat bagi kita merenungkan diri kita, adakah kita masih hidup pada jalan Allah, masihkah kita setia kepada kehendak Allah.
Bahkan Allah menyatakan solidaritasnya dengan manusia yang menderita terutama dengan mereka yang menderita karena perlakuan sesamanya yang tidak adil: mereka yang diperas, yang dibodohi, mereka yang didiskriminasi karena keadaan sosialnya maupun karena suku, ras dan agamanya. Allah memperdulikan mereka yang lemah,yang haknya tidak diperdulikan, mereka yang berada di tempat-tempat konflik, peperangan dan tempat-tempat pengungsian karena berbagai tekanan hidup dan bencana. Dalam rasa solidaritas Allah yang mendalam itu, Allah membenci tindakan-tindakan ketidakadilan.
Tema Sidang Sinode GBKP ke-35 ini merupakan suatu pengakuan iman warga GBKP yang nampaknya lahir dari pengalaman ketidakpastian hidup bahkan penderitaan yang dialami khususnya dengan erupsi gunung Sinabung yang melanda masyarakat di Tanah Karo ini selama 5 tahun belakangan ini. Gunung-gunung dan bukit-bukit yang subur bagi pertanian di daerah ini yang menunjang ekonomi masyarakat, ternyata telah berbalik menjadi kekuatan yang destruktif atau merusak kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Kehidupan dari mereka yang secara langsung mengalami dampak dari letusan gunung ini menjadi sulit. Di tengah realitas ini, tema Sidang Sinode ini ini memberi penghiburan, kekuatan dan kepastian bahwa walau mereka mengalami goncangan gunung dan bukit-bukit beranjak, namun kasih setia Tuhan tidak luntur sedikitpun.
Sisi lain dikatakan bahwa tidak sedikit keluarga yang terpecah karena ketidak mampuan suami istri untuk berkomunikasi dengan baik sehingga emosi dimuntahkan tanpa batas. Demikian juga kemarahan dan perlakuan semena-mena orang tua terhadap anak, atau kebencian anak terhadap orang tua telah banyak menuai ketidakdamaian bahkan permusuhan dalam keluarga. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin majemuk, baik dalam hal budaya, bahasa, agama, tingkat pendidikan maupun pilihan politik dan pandangan hidup. Ketidak mampuan kita untuk mempertimbangkan orang lain yang berbeda dengan kita dan mengelola kemajemukan dengan bijak, tidak jarang menuai pertikaian dalam jemaat dan dalam masyarakat. Kita prihatin dengan semakin banyaknya jemaat bahkan gereja yang diancam perpecahan oleh karena ketidakmampuan kita untuk mendengar satu tehadap yang lain, menghargai pendapat yang berbeda dan berupaya mencari solusi bersama dalamsemangat persaudaraan yang Yesus teladankan.
Disadari bahwa ancaman terbesar yang kita hadapi sebagai bangsa adalah kemiskinan dan ketidakadilan, serta radikalisme dan kerusakan lingkungan. Walaupun nampaknya negara kita mengalami pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang dalam masyarakat. Mereka yang miskin semakin terpuruk dengan meningkatnya harga bahan-bahan pokok. Kesenjangan sosial semakin melebar yang memperlihatkan bahwa kita belum berhasil mengupayakan masyarakat yang semakin berkeadilan sosial.
Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk nampaknya sikap yang tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda, semakin mencuat. Hal ini menjadi bibit yang subur bagi berkembangnya radikalisme dalam masyarakat. Kehidupan yang saling menerima dalam sebuah masyarakat majemuk Indonesia yang merupakan warisan budaya kita, nampaknya semakin terkikis akibat mengentalnya semangat sektarianisme dan suburnya semangat mengembangkan symbol-symbol agama dalam mengatur kehidupan bersama, misalnya lewat produk-produk hukum maupun kecenderungan menyalurkan aspirasi melalui partai-partai berbasis agama.
Sikap intoleransi ini nampak dalam penutupan gedung gereja, dalam sikap yang diskriminatif terhadap kelompok agama yang minoritas. Demikian pula, tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia makin memprihatinkan. Alam dikeruk untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya yang menyebabkan bumi kita mengerang kesakitan. Mungkinkah juga letusan-letusan gunung berapi juga memberi tanda kepada kita bahwa gunung-gunung dan bukit-bukit sedang menderita karena manusia hanya melihatnya sebagai obyek yang dapat dimanipulasi tanpa memberikan sentuhan yang merawat kelestarian lingkungan alam semesta. (Sumber: gbkp.or.id)