JAKARTA,PGI.OR.ID-Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu telah mengeluarkan surat edaran tentang Ujaran Kebencian atau Hate Speech Nomor SE/06/X/2015. Surat edaran tersebut dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapat perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Banyak kalangan melihat meski niatnya baik, namun surat edaran tersebut hasilnya jauh dari substansi. Seperti diungkapkan Sidney Jones, pengamat terorisme, dalam diskusi bertajuk Ujaran Kebencian dan Masa Depan Kebebasan, di kantor LBH Jakarta, Selasa (1/12).
“Saya kira bukan ujaran kebencian, tetapi yang menjadi masalah terbesar di Indonesia sekarang ini adalah tindak kekerasan yang pelakunya tidak pernah dihukum sama sekali, tidak pernah diproses secara hukum. Dalam suatu pertemuan pernah saya tanya kepada polisi mengapa kalau ada kelompok massa yang menyerang kelompok minoritas, mereka terkesan membiarkan. Menurutnya ada tiga jawaban pertama tidak punya perintah dari atas, kedua kalau kita menyerang mereka mereka akan menyerang kita, ketiga kadang-kadang kita memakai mereka sebagai mitra,” ujarnya.
Sebab itu, lanjut Sidney, yang perlu dilakukan adalah bagaimana hukum ditegakkan, sehingga tidak ada toleransi bagi kelompok-kelompok yang kerap menggunakan kekerasan, dan menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain. Dengan demikian tidak ada rasa aman bagi para pelaku kekerasan.
Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan Muslim, juga melihat hal yang sama. Surat edaran itu mungkin niatnya baik tetapi ada ironi atau paradok didalamnya. “Kalau niatnya baik, ok, tetapi surat ini begitu dikeluarkan jika ada masalah mestinya langsung di follow up, dan mestinya surat edaran ini dieksekusi, misalnya sekarang ini ada kampanye di mana-mana untuk menentang Syaih. Menurut saya kampanye anti Syaih sekarang ini kategorinya adalah hate speech,” tegas Ulil.
Lebih jauh Ulil mengungkapkan: “Hate speech sebenarnya telah lama didiskusikan oleh di kalangan mereka yang berjuang untuk hak-hak minoritas di Indonesia, secara khusus dalam konteks sekarang ini kepada kelompok seperti Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi sasaran hate speech. Diskursus mengenai kelompok sesat dan mengkafirkan kelompok lain itu adalah langkah awal atau pintu masuk kepada hate speech, sebab itu kita tidak boleh main-main dengan fatwa yang menyesatkan kelompok tertentu.”
Sementara itu, Andi Budiman, dari SEJUK, melihat Surat Edaran Kapolri merupakan serangan balik bagi kebebasan, karena aturan-aturan didalamnya akan dapat merepresi kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menodai agama.
Lanjut Andi, kelak orang-orang yang bicara mengenai doktrin agama akan dianggap menghina agama lain, dan situasi ini tidak sehat bagi iklim demokrasi, dan tidak akan ada lagi perdebatan kritis mengenai agama. Kemudian akan muncul kelompok agama yang memonopOli tafsir agama.
Editor: Jeirry Sumampow