Hasil Riset Barna, Ketum PGI: Mengingatkan Gereja untuk Melihat Potensi Remaja

Pimpinan lembaga gereja saat menanggapi hasil riset Barna, di GBI Tabernakel, Medan, pada Selasa (22/11/2022)

MEDAN,PGI.OR.ID-Lembaga riset global, Barna, bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) Alpha Indonesia, Christian Vision, serta beberapa lembaga Kristiani lain di tingkat global, di 2021 telah melakukan riset terhadap 25 ribu remaja usia 13-17 tahun di 26 negara, termasuk Indonesia. Riset bertujuan untuk mendapat gambaran tentang pemahaman remaja secara global terkait dengan identitas, nilai dan pandangan mereka khususnya mengenai Tuhan Yesus, Alkitab dan isu sosial.

Dari hasil riset tersebut disimpulkan bahwa 67% remaja Kristen di Indonesia mengidentifikasikan diri sebagai orang Kristen, dan telah membuat komitmen pribadi untuk mengikuti Yesus Kristus. Para remaja ini juga menganggap Alkitab, anggota keluarga atau pendeta dapat dipercaya menolong mereka belajar tentang Yesus. Selain itu, jumlah remaja yang menggunakan Alkitab melalui ponsel di Indonesia, 26% lebih tinggi dari para remaja di dunia, yang secara umum lebih menggunakan Alkitab dalam bentuk buku.

Laporan penelitian berjudul The Open Generation tersebut, telah diluncurkan di GBI Tabernakel, Medan, pada Selasa (22/11/2022). Sejumlah pimpinan lembaga gereja berkesempatan untuk menanggapi hasil riset Barna ini. 

Pada kesempatan itu, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengapresiasi hasil riset Barna. Menurut pengamatannya, gereja-gereja banyak menyusun program intervensi terhadap kehidupan umat, termasuk kepada remaja. “Kebanyakan program-program gereja itu asumtif sifatnya, terutama kepada remaja. Jadi kalau dikatakan dalam penelitian ini dikatakan remaja sebagai usia terbuka, apakah ini disadari gereja? Apresiasi saya paling tidak hasil penelitian seperti ini mengingatkan gereja kita, ini lo masalah kita. Maka mari kita berangkat dari sini, bukan oleh asumsi-asumsi,” katanya.

Lebih jauh dijelaskan, tentu penelitian ini tidak bisa ditelan mentah-mentah, dibutuhkan semacam participatory social analisys. “Marilah hasil dari penelitian Barna dan BRC ini, ditingkat lokal dan sinodal dilakukan penelitian sosial bersama-sama. Tidak oleh para ahli, para peneliti, tapi dari stakeholder lokal maupun sinodal, kita sedang berada dimana. Gereja-gereja diingatkan untuk melihat potensi remaja sebagai generasi terbuka ini,” tandasnya.

Pada bagian lain dari tanggapannya, Ketum PGI melihat perlunya gereja, tidak hanya melalui khotbah, tetapi melalui aksi nyata untuk mengajarkan remaja, juga anak-anak untuk melakukan hal-hal kecil namun memiliki dampak yang positif terhadap tumbuhkembang mereka.  

“Gereja-gereja terlalu banyak khotbah, yang dogmatis yang buat anak-anak tidak masuk diakal. Yang diperlukan mengajak anak-anak untuk melakukan hal-hal kecil, namun positif misalnya gotong royong, bersih-bersih lingkungan. Sehingga gereja peduli kepada lingkungan sekitar. Kenapa tidak mulai untuk down to earth, soal lingkungan, keadilan, kepemimpinan,” jelasnya.

Para pimpinan lembaga gereja bersama pengurus WVI dan Bilangan Riset Center

Sedangkan Ketua Umum PGLII Pdt. Dr. Ronny Mandang melihat, bahwa Gereja memang membutuhkan perspektif baru terkait keberadaan remaja. “Usia 13-17 tahun adalah masa di mana sangat menikmati perobahan, inovatif dan pro aktif. Sebab itu, jika gereja juga tidak proakitf terhadap mereka, data atau hasil riset yang positif ini, bisa menjadi menurun,” tandasnya.

Remaja atau pemuda, lanjutnya, merupakan generasi pintu depan bagi gereja. Sebab itu, gereja harus berani mengambil keputusan yang tepat dengan melibatkan mereka.

Dari perspektif Katolik, Sekretaris Eksekutif Komisi Kepemudaan KWI, Romo Frans Kristi Adi Prasetya mengungkapkan, bahwa para remaja adalah orang-orang yang berada di masa transisi, dari anak-anak menuju dewasa. Transisi yang tadinya dekat dengan orangtua kemudian dilepas secara mandiri.

“Mereka orang-orang yang sedang berada di dalam fase ketegangan mengikuti norma dan aturan tetapi di sisi lain berhadapan dengan situasi sosial yang begitu dekat dengan mereka. Saya sering membayangkan teman-teman remaja yang saya damping ini sebagai seperti Yesus yang berusia 12 tahun masuk di bait Allah, untuk mengikuti warisan ortu diajak ke Yerusalem, tetapi kemudian tinggal di sana dan bertemu dengan banyak orang, teman-temannya, termasuk para imam dan ahli Taurat,” katanya.

Apresiasi atas hasil riset Barna juga disampaikan Romo Frans Kristi. Menurutnya, orangtua maupun gereja memegang peranan penting untuk mendampingi para remaja, untuk tetap memiliki iman yang kuat kepada Yesus Kristus.

 

Pewarta: Markus Saragih