JAKARTA, PGI.OR.ID – Kita kembali kehilangan seorang tokoh besar dari tengah-tengah bangsa Indonesia. Advokat senior Adnan Buyung Nasution baru saja meninggalkan kita pada usia 81 tahun, Rabu, 23 September 2013.
Bang Buyung, demikian beliau biasa kami sapa, adalah seorang yang tegar dan galak. Perawakan tubuhnya yang tinggi besar, masih kalah dengan keberaniannya.
Saya sudah menyaksikan sepak-terjangnya sejak peristiwa Malari, lewat pemberitaan media ketika itu. Saya menyaksikan bagaimana Si Abang ditahan lebih dari 22 bulan bersama tokoh-tokoh mahasiswa lainnya ketika itu, tanpa proses peradilan yang semestinya.
Persentuhan saya yang intens dengannya berawal dari kasus HKBP, persis sekembalinya beliau dari studi doktoral di Belanda. Ketika itu pemerintahan hegemonik Suharto sedang mengobok-obok HKBP, dengan mengangkat Ephorus boneka menggantikan pimpinan HKBP melalui keterlibatan para jenderal. Si Abang, bersama Garuda Hakim Nusantara dan Luhut Pangaribuan sangat aktif mendampingi HKBP dalam berhadapan dengan kekuasaan Suharto dan militer ketika itu. Saya menyaksikan sendiri bagaimana beliau menghardik tentara yang mencoba berlaku seenaknya terhadap warga HKBP yang melakukan demo ketika itu.
Dia adalah juga sosok yang sangat perduli akan nasib dan masa depan bangsa ini. Kalau saya tak salah, salah satu studi dan penelitiannya adalah sebuah upaya mengembalikan konstitusi RI kepada akar penegakan HAM. Sebagaimana kita ketahui, selama pemerintahan Orba, konstitusi RI selalu diinterpretasi dengan pemahaman integralistik ala Supomo, yang sebenarnya sudah ditolak dan ditinggalkan oleh para pendiri bangsa ini. Namun Pembangunan yang menekankan pendekatan keamanan ala Orba menggunakan paham integralistik Supomo, sehingga hak-hak individu bisa dikorbankan bahkan dimusnahkan demi kepentingan komunal.
Studi doktoral Si Abang sangat membantu kita menanggalkan bingkai integralistik tersebut dalam memahami dan mengimplementasikan amanat UUD 1945. Saya kira amandemen kesatu dan empat UUD 1945 pasca reformasi berhutang pada hasil studi si Abang.
Sumbangan si Abang ketika menjadi anggota Wantimpres juga tak dapat diabaikan begitu saja. Dia berhasil mendesakralisasi proses-proses pertimbangan ke Presiden dengan mengembangkan wacana keterbukaan Wantimpres. Dia jugalah yang menyediakan pintu Wantimpres bagi masyarakat yang selama ini termarjinalkan dan didiskriminasi seperti agama-agama dan kepercayaan lokal. Bahkan GKI Yasmin yang diabaikan oleh pemerintahan SBY pun sangat banyak ditoleh dan didampingi oleh si Abang.
Kini si Abang telah pergi. Kiranya semangat si Abang untuk membawa bangsa ini berjalan di jalur penegakan hukum dan kegeramannya atas praktek-praktek ketidak adilan, kiranya tetap hidup bersama kita.
Selamat jalan, bang!
Gomar Gultom, MTh (Sekretaris Umum PGI)