GKI Yasmin dan Fatamorgana Sosial

PGI – Jakarta. GKI Yasmin adalah sebuah gereja yang hingga kini masih disegel oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Padahal, rumah ibadah mereka telah mendapatkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dari Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006. Namun, pada 14 Februari 2008, Wali Kota Bogor mencabut IMB yang sudah dikeluarkannya itu. Alasannya, karena ada protes dan keberatan dari kelompok tertentu kepada Wali Kota yang meminta agar pembangunan gereja dihentikan. 

Sebenarnya tindakan Wali Kota tersebut dapat dikategorikan “cacat hukum”. Pertama, karena IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dicabut kembali. Apalagi Perber Dua Menteri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 (yang antara lain mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah) pun tidak menyebut-nyebut tentang kewenangan kepala daerah untuk mencabut sebuah IMB.

Kedua, alasan “protes dan keberatan dari kelompok tertentu” yang menyebabkan Kepala Daerah Kota Bogor itu mengubah keputusan resmi yang dibuatnya menunjukkan ia tipikal pemimpin yang tak dapat dipercaya serta tak paham seluk-beluk hukum dan proses pembuatan kebijakan publik. Di mana letaknya kewibawaan hukum jika hukum begitu mudahnya diubah karena desakan sekelompok orang? Seberapa pun banyaknya jumlah mereka, bukankah hukum tetap harus dijunjung tinggi? Atas dasar itu, alih-alih membatalkan keputusannya, bukankah Diani Budiarto seharusnya berupaya ”menyadarkan” dan ”menertibkan” mereka?

Tak pelak, GKI Yasmin pun berjuang hingga akhirnya berujung di pengadilan. Tahun 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun kemudian, Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 645.45-137 per 11 Maret 2011. Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat akhir, yang berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi? Namun, mengapa bertahun-tahun sesudahnya Pemkot Bogor berani mengabaikan putusan tersebut? Bukankah itu sama saja dengan pembangkangan secara hukum?

Pihak GKI Yasmin pun mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor tertanggal 11 Maret 2011. Ombudsman menilai SK Walikota Bogor tentang pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang dikeluarkan oleh Walikota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009. 

Pada 18 September 2011, batas waktu yang diberikan Ombudsman berakhir. Namun, Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya, jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka miliki secara sah itu. Mereka terpaksa beribadah di trotoar di dekat gereja. Itu pun selalu diintimidasi oleh Pemkot Bogor, Satpol PP dan
pihak-pihak lain dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Akhirnya, jemaat GKI
Yasmin pun memindahkan tempat ibadahnya di rumah-rumah jemaat secara bergantian dan setiap dua minggu sekali menggelar ibadah solidaritas (bersama jemaat HKBP Filadelfia, Bekasi, yang kurang-lebih bernasib serupa) di depan Istana Negara, Jakarta. 

Sikap tak taat hukum yang diperlihatkan Wali Kota Diani Budiarto seharusnya disikapi dengan tegas oleh pejabat-pejabat negara di atasnya, mulai dari Gubernur Jawa Barat dan Menteri Dalam Negeri. Jika gubernur dan menteri masih dipandang sebelah mata, maka pihak terakhir yang harus menjaga kewibawaan hukum adalah kepala negara. 

Pada 16 Desember 2011, di kediamannya sendiri di Cikeas, Jawa Barat, Presiden SBY berjanji di hadapan para pemimpin Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang menemuinya bahwa ia siap turun tangan langsung jika para bawahannya di kabinet tak mampu mengatasi masalah GKI Yasmin. Tapi, apa yang terjadi? Tak lama setelah itu, melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, SBY mengatakan bahwa dirinya tak mungkin
mengintervensi kasus GKI Yasmin karena terhalang oleh UU Otonomi Daerah. Betapa
mudahnya SBY berdalih. Tidakkah ada rasa malu di dalam dirinya, karena Indonesia telah menjadi sorotan dunia gara-gara kasus GKI Yasmin? Tidakkah ada kemauan politik untuk menyelesaikan masalah ini demi Pancasila, UUD 45, dan demi menjaga kewibawaan hukum?

Mungkin SBY tak sadar bahwa ia bukan hanya presiden, tapi juga kepala negara. Dalam kapasitas itulah SBY berwenang “menertibkan” Wali Kota Diani Budiarto demi supremasi hukum. Boleh jadi lantaran itulah maka pada 9 Februari 2012, Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana berkata: “Kami minta ketegasan Presiden secepatnya mengingat masalah ini krusial, tidak boleh dianggap sepele.” 

Pada 7 April 2014, Diani Budiarto sebagai Wali Kota Bogor resmi diganti oleh Bima Arya. Menurut Bima, ketika ditemui perwakilan GKI Yasmin usai dirinya dilantik, ia masih harus mempelajari kasus tersebut. Pertanyaannya, butuh waktu berapa lamakah untuk memahami kasus ini? Mengapa hingga kini segel GKI Yasmin belum juga dicabutnya? 

Menyikapi kasus ini, pada 5 November lalu, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa negara harus melayani dan melindungi semua warga negara. “Negara Indonesia bukan
negara berdasarkan agama apa pun. Ini negara berdasarkan UUD 1945. Semua harus
dilindungi,” kata Tjahjo.

Ia juga menyatakan akan segera menggelar pertemuan lanjutan untuk memastikan kasus-kasus diskriminatif ini segera dihentikan, termasuk soal GKI Yasmin. Sehari sesudahnya, Menteri Tjahjo menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan Direktur Jenderal Kesbangpol Tanribali Lamo untuk bertemu pihak kepolisian, Kemenag, dan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. “Saya juga minta agar Kapolri bisa menyelesaikan permasalahan terkait belum adanya pelaksanaan putusan pengadilan untuk membuka GKI Yasmin,” katanya setelah acara rapat koordinasi pejabat eselon I dan II di kantor Kemendagri (6/11/2014).

Hari ini (19/12/2014), setelah lebih dari sebulan berlalu, faktanya GKI Yasmin tetap
tersegel. Terkesan tak ada keseriusan di dalam diri Wali Kota Bogor dan Mendagri. Sesungguhnya faktor apa yang menghalangi mereka untuk menyelesaikan masalah ini sesuai hukum? Dikhawatirkan akan terjadi konflik sosial karena banyaknya ancaman dari kelompok radikalis, seperti Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) dan Gerakan Reformasi Islam (Garis), yang selama ini kerap melakukan aksi-aksi menolak GKI Yasmin. 

Terkait itu saya ingin mengatakan: lihatlah Ahok, Gubernur DKI Jakarta, yang sebelum dilantik kerap didemo dan bahkan diancam oleh kelompok-kelompok radikalis sampai akhirnya mereka membentuk ”gubernur tandingan”. Namun, Ahok bersiteguh. Bagi dia, hukum harus ditegakkan apa pun resikonya. Ahok benar. Terbukti ia menuai simpati dari
banyak pihak dan kalangan, dan akhirnya kelompok-kelompok penentangnya pun mundur teratur.

Inilah fatamorgana sosial yang agaknya kerap dilihat oleh sebagian pemimpin di negara ini. Dengan fatamorgana maksudnya, sepertinya ada air menggenang di depan jalan panjang yang akan kita lalui. Faktanya air itu tak ada. Namun, kita baru tahu setelah kita terus
berjalan. Begitupun fatamorgana sosial. Kita berimajinasi dengan rasa cemas sepertinya ada konflik sosial yang bakal terjadi. Padahal, itu hanya imajinasi yang tak
seharusnya disikapi serius sampai-sampai mengalahkan hukum.

Kota Bogor tak boleh menjadi “negara” di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Bogor tak boleh ada seorang kepala daerah yang dibiarkan saja meski ia sudah melecehkan lembaga-lembaga negara seperti MA dan Ombudsman RI. Untuk itu Jokowi sebagai kepala negara harus bertindak. 

Penulis: Victor Silaen (Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan. Penulis buku Bertahan di Bumi Pancasila, Belajar dari Kasus GKI Yasmin (2012)

Sumber: Sinar Harapan