JAKARTA,PGI.OR.ID-Persoalan kemiskinan, masalah kebudayaan di tingkat lokal, lemahnya perlindungan pemerintah dari segi regulasi dan birokrasi, serta belum optimalnya perhatian gereja-gereja terhadap isu pekerja migran menjadi sorotan dalam diskusi publik mengenai “Gereja di Tengah Pergumulan Pekerja Migran dan Korban Perdagangan Orang” di Grha Oikoumene, Jakarta, Jumat (8/6). Diskusi ini diadakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sebagai upaya menggali berbagai tantangan yang perlu mendapat perhatian dari gereja-gereja dan kalangan masyarakat sipil dalam advokasi pekerja migran.
Gereja-gereja bisa dikatakan berada dalam situasi yang tidak mudah mengingat persoalan pekerja migran, yang juga terjadi di daerah-daerah Kristen, memiliki akar masalah yang kompleks dan tidak mudah dipecahkan. Ini belum lagi persoalan internal gereja yang membuat isu pekerja migran belum mendapat posisi yang menonjol dalam kehidupan gereja, bahkan luput menurut Pdt. Gomar Gultom, sekum PGI, yang menjadi salah satu pembicara.
Yuli Adiratna, Kepala Sub-Direktorat Perlindungan TKI Kemenaker yang menjadi pembicara dalam diskusi ini, menjelaskan bahwa data Bank Dunia menunjukkan ada sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di luar negeri; baik yang legal maupun non-legal. Sementara data di Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (SISKOTKLN) menunjukan ada sekitar 4.6 Juta PMI; umumnya tersebar di Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Taiwan. Bagi Adiratna, perbedaan data ini memperlihatkan bahwa arus PMI bergerak melalui berbagai jalur sehingga tidak mudah terdeteksi secara detail. Apalagi, wilayah perbatasan Indonesia bisa dikatakan sangat luas. Dari arus PMI tersebut, 48% pekerja asal Indonesia bekerja secara non-prosedural (ilegal) dan berpotensi menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang.
Dari pengalaman PGI, menurut Sekum PGI, situasi saat ini sudah memprihatinkan. PGI secara khusus memberi perhatian pada wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) karena sekalipun NTT bukan penyumbang terbesar PMI, tapi tindak pidana perdagangan orang yang terbesar dari NTT. Bahkan, kematian PMI yang terbesar juga dari NTT.
Masyarakat NTT, dalam pengamatan Sekum PGI, menghadapi persoalan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan masalah budaya yang melihat bekerja di luar sebagai sebuah keberhasilan. Catatan ini diperkuat dengan masukan dari Ester Damaris, salah seorang penanya dalam sesi diskusi, yang mengutarakan bahwa di Sumba ada persoalan budaya yang mendorong perempuan keluar. Pertama, adat belis (mas kawin) dan upacara kematian yang membutuhkan biaya besar. Kedua, adanya pernikahan levirat yang memungkinan perempuan dinikahi oleh saudara suaminya apabila suaminya meninggal. Bagi perempuan yang tidak menginginkan perkawinan tersebut, mereka memilih pergi keluar. Ketiga, adanya kebutuhan ekonomi – akibat terbelih hutang – yang membuat keluarga menikahkan paksa anak perempuannya. Bagi perempuan yang menolak perkawinan tersebut, mereka juga memilih pergi keluar. Ini kemudian dimanfaatkan oleh para calo. Ironisnya, banyak dari calo-calo tersebut adalah orang-orang gereja, termasuk yang menjadi tokoh di dalam gereja. Calo-calo ini seringkali tidak bisa disentuh hukum, bahkan ada yang bebas berkeliaran sekalipun sempat tertangkap.
Bagi pemerintah, sebagaimana dijelaskan oleh Adiratna, tantangan yang ada adalah bagaimana menjadikan PMI sebagai subjek. Di sini pemerintah mendorong dilakukannya perbaikan di tingkat desa melalui pelatihan dan pemberian dokumen yang lengkap. Ini sejalah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Dalam UU 18/2017, setiap TKI harus siap dari segi ketrampilan, kompetensi dan dokumen. Kemudian, mereka harus mendaftar dulu ke Dinas Ketenagakerjaan di desa. Dalam konteks ini, Pemerintah akan memperkuat posisi Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, karena pendataan dan peningkatan kompetensi bertumpu di sana.
Pemerintah juga berbenah dengan revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) karena pelatihan tenaga kerja menjadi tanggung jawab pemerintah. Bahkan, berdasarkan UU 18/2017, pemerintah desa bertangungjawab untuk pendataan dan verifikasi untuk kebutuhan deteksi awal.
Desa dalam pembacaan pemerintah merupakan titik awal proses migrasi. Di sini muncul kebutuhan untuk mengembangkan ekonomi produksif dan pembedayaan masyarakat di tingkat desa. Salah satu program yang akan dikerjakan adalah Desa Migran Produktif (Desmigratif), sama seperti program Desa Buruh Migran (Desbumi). Selain itu, juga dikembangkan ekonomi keluarga yang ada di desa.
Layanan terpadu satu atap – antara Kemenaker, BPJS, Imigrasi, Kepolisian dan Perbankan – juga akan dikembangkan pemerintah agar ada layanan yang cepat dan murah, khususnya di kantong-kantong TKI. Bagi Adiratna, ini semua adalah mandat dari UU 18/2017.
Sekalipun demikian, ada sejumlah catatan lapangan yang harus menjadi perhatian pemerintah. Hal ini diutarakan oleh Wahyu Susilo dari Migrant Care. Berdasarkan data Trafficking in Persons (TIP) Report, Indonesia pada 2001-2002 masuk dalam kategori TIER 3, yakni negara yang buruk dalam situasi perdagangan manusia dan tidak memiliki instrumen legal untuk pencegahan serta penegakan hukumnya. Sejak 2003, ada perbaikan dengan dibentuknya gugus tugas anti trafficking dan merancang legislasi untuk memerangi perdagangan manusia. Namun, pembentukan lembaga seperti ini dipandang Susilo sering tidak memperlihatkan inisiatif yang progresif. Ini terlihat pada pengesahan mengesahkan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun sampai sekarang, pengesahan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan langkah progresif dalam penegakan hukum dalam perdagangan orang. Belum lagi persoalan kemiskinan dan korupsi masih harus ditangani pemerintah.
Perlawanan terhadap perdagangan orang juga masih jauh dari pendekatan HAM dan gender sensitive. Perda-perda yang ada di berbagai daerah misalnya, malah melarang perempuan untuk bekerja, jadi bukan mengurangi praktek-praktek destruktif dalam rekrutmen dan penempatan PMI.
Dalam penegakan hukum juga masih terjadi kriminalisasi terhadap korban dan dikotomi legal dan ilegal yang berdampak terhadap kriminalisasi migrasi swadaya berbasis kultural. Menurut Susilo, di NTT ada migrasi yang berlangsung swadaya dan ada yang melalui jalur Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Berdasarkan data yang ada, TKI yang menjadi korban perdagangan orang adalah mereka yang awalnya berangkat dari rekrutmen PPTKI. Data 2017 menunjukan bahwa jumlah korban dari mereka yang menjadi TKI melalui jalur swadaya adalah 2 orang. Sementara mereka yang berangkat melalui PPTKI, jumlah yang meninggal adalah 63 orang.
Perdagangan orang dalam jalur legal juga karena ada keterbatasan regulasi, yakni korporasi belum masuk Kategori pelaku perdagangan orang. Selain itu, perdagangan orang juga memanfaatkan praktek korupsi, pemalsuan dokumen, kelemahan diplomasi buruh migran Indonesia dan kelemahan hukum antarnegara. Agen-agen TKI bahkan memiliki jaringan dengan PPTKS Indonesia
Kenyataan seperti ini membuat gereja harus bergerak secara terpadu mengingat persoalan yang mengelilingi isu PMI sangat beragam dan membutuhkan kerja sama lintas lembaga. (Beril Huliselan)
Be the first to comment