Seminar Agama-agama ke-33: Bersama-sama Menggumuli dan Memperjuangkan Masyarakat Adat

Pembukaan SAA ke 33

SUMUT,PGI.OR.ID-Seminar Agama-Agama ke-33 adalah agenda tahunan PGI untuk menggumuli isu-isu kehidupan berbangsa yang juga menjadi bagian pergumulan bersama gereja-gereja di Indonesia. Seminar Agama-Agama ke-33 kali ini mengambil tema “Masyarakat Adat: Reclaiming, Identitas dan ke-Indonesiaan”.

Dalam pengantar Seminar, Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI, Pdt. Penrad Siagian menjelaskan, bahwa pasca reformasi, dengan terbukanya ruang demokrasi yang lebih egaliter, menjadi momentum bagi komunitas-komunitas masyarakat adat untuk memasuki ruang-ruang kontestasi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengkonstruksi identitasnya sebagai subjek yang setara dengan komunitas-komunitas lain yang ada di tengah-tengah bangsa ini.

Pdt. Penrad Siagian dalam pengantar seminar

Karenanya, dibutuhkan sebuah proses tidak lagi sekedar perjuangan untuk meminta pengakuan atau recognisi tapi reclaiming atas identitasnya. Dan dalam proses tersebut, SAA kali ini menjadi patok sejarah bahwa gereja-gereja terlibat dan berkontribusi bersama-sama masyarakat adat dalam perjuangannya menjadi subjek atas identitasnya.

Sebelumnya, pembukaan seminar agama-agama yang berlangsung di Mess Methodist, Bangun Dolog, Parapat, Sumatera Utara, Selasa (20/3) ini,  diawali dengan lagu serikat persaudaraan. Selanjutnya host, tuan nyonya rumah MPH PGIW Sumatera Utara yang diwakili oleh Sekum Pdt. Hotman Hutasoit menyambut baik dalam rangka kerja bersama dalam arak-arakan kerja oikumene.

“Tempat ini sering digunakan oleh berbagai kalangan dan agama, maka tempat ini juga menjadi tempat pertemuan-pertemuan antar iman. Tempat yang disediakan bukan hotel, tetapi milik gereja, maka kita semua menjadikan rumah ini sebagai rumah bersama,” katanya.

Pdt. Hotman Hutasoit

Masih menurut Hotman Hutasoit, peserta seminar akan belajar juga kepada komunitas kepercayaan Parmalim. Kegiatan tersebut diharapkan seluruh peserta mendapatkan sikap untuk membangun sebagai bangsa yang saling menerima dan menghormati antar anak bangsa.

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Ketum PGIW Sumut, Pdt. Darwis Manurung. Dia menjelaskan, bahwa PGIW Sumatera Utara sering menjadi host pelaksanaan program PGI, dan ini menjadi kebanggaan tersendiri menjadi bagian kerja oikumene. PGIW sengaja menggunakan tempat ini yang dikenal dengan nama Bukit Kebangkitan, sebagai simbol untuk terus menerus menghayati kredo ugahari yang kita sepakati bersama sebagai gereja anggota-anggota PGI.

Pdt. Darwis Manurung

Pembukaan secara resmi oleh Ketua PGI Pdt. DR. Tuhoni Telaumbanua. Dalam sambutannya, Tuhoni mengatakan, bahwa seminar Agama-Agama awalnya hadir bersama agama-agama untuk menyikapi isu yang berkembang dan sedang digumuli. Seminar ini bisa menjadi semacam pembuktian kehadiran gereja pada isu yang sedang digumuli bersama.

Dalam Sidang Raya di Nias, pergumulan kita termasuk soal masyarakat adat yang mendapatkan diskriminasi sejak jaman kolonial sampai pemerintah Indonesia. Pergumulan ini untuk melihat apakah gereja menjadi mitra masyarakat adat atau bagian yang juga menjadi pelaku ketidakadilan bagi masyarakat adat.

Pdt. DR. Tuhoni Telaumbanua

Setelah resmi seminar dibuka, dilanjutkan dengan memberikan Pengantar Seminar Agama-agama oleh Pdt. Penrad Siagian. Dalam pengantarnya dia mengatakan, bahwa hasil-hasil dari SAA ini akan menjadi pegangan bagi PGI bersama gereja-gereja di Indonesia dalam proses advokasi terkait dengan isu-isu masyarakat adat.

“Karena itu, materi-materi yang akan dibahas dalam SAA ini berkaitan dengan berbagai dimensi dan permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu masyrakat adat mulai dari dimensi sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan agama-agama dan proses regulasi tentang RUU MHA (Masyrakat Hukum Adat) yang menjadi program legislasi nasional (prolegnas) di DPR RI saat ini. Karena itu, SAA ini tidak hanya dihadiri oleh peserta yang mewakili gereja-gereja saja tapi juga dari kalangan lintas iman, seperti Islam, Hindu, Budha, Konghucu serta perwakilan-perwakilan komunitas masyarakat adat, dan tidak ketinggalan dari kalangan akademisi dan aktivis serta lembaga yang selama ini telah terlibat dalam advokasi bagi masyarakat adat dari berbagai daerah di Indonesia,” jelasnya. (Penrad Siagian)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*