Gereja-Gereja Menyikapi Persoalan Radikalisme dan Terorisme

Para nara sumber dan moderator dalam seminar

JAKARTA,PGI.OR.ID-Menyikapi persoalan radikalisme dan terorisme yang belakangan marak terjadi di Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menggelar seminar bertajuk Upaya Bersama Mengatasi Radikalisme Menuju Masyarakat Majemuk yang Damai, di Lantai 5 Grha Oikoumene, Jakarta, Jumat (25/5).

Seminar yang diselenggarakan dalam rangka ultah ke-68 PGI ini, menghadirkan Dr Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V (Bidang Politik, Hukum dan HAM) KSP dan Brigjend Pol. Martinus Hukom, Direktur Penegakan Hukum BNPT. Seminar diawali dengan refleksi ulang tahun PGI oleh Pdt Dr AA Yewangoe.

Pada kesempatan itu, Jaleswari Pramodhawardhani menuturkan, persoalan terorisme dan radikalisme yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia merupakan satu persoalan yang bebannya dipikul bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan semua pendekatan dalam penanganannya, baik melalui hard power maupun soft power.

MPH-PGI, pimpinan gereja, dan pimpinan lembaga gereja saat diskusi

Melalui pendekatan hard power, lanjut Jaleswari, dilakukan penegakkan hukum yang tegas, keras, dan tanpa kompromi sekaligus memburu jaringan teroris hingga ke akarnya. Sedangkan melalui pendekatan soft power, dilakukan langkah-langkah untuk membentengi masyarakat dari ideologi terorisme yang penuh dengan kekerasan, selain itu melanjutkan program deradikalisasi.

“Itulah sebabnya menjadi penting langkah-langkah yang telah diambil pemerintah untuk mempromosikan ideologi Pancasila, bukan saja dalam kata-kata tetapi dengan langkah Presiden Joko Widodo membentuk kelembagaannya sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang setara kementrian berada di bawah Presiden,” katanya.

Lebih jauh dijelaskan Jaleswari, kehadiran BPIP perlu dimanfaatkan dan dioptimalkan oleh masyarakat melalui kerjarsama dengannya untuk mempromosikan, menyebarluaskan, dan memperkuat pemahaman ideologi Pancasila dalam rangka menolak kebencian dan terorisme.

“Presiden mengingatkan kita bahwa ideologi terorisme telah masuk kepada keluarga kita, sekolah-sekolah kita, untuk itu beliau minta poendekatan hard power dengan soft power dipadukan, diseimbangkan dan saling menguatkan sehingga aksi pencegahan dan penanggulangan terorisme bisa berjalan lebih efektif,” tambahnya.

Dia mengingatkan, tantangan yang dihadapi cukup berat, karena persoalan radikalisme dan terorisme tidak dapat dilepaskan dari gejala global yang masih terjadi hingga saat ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan kesatuan, persatuan, kesabaran, ketabahan, dan niat kuat segenap elemen masyrakat, termasuk gereja, untuk bekerjasama menciptakan masyarakat yang damai, bersatu, adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara itu, Martinus Hukom menjelaskan bahwa tidak ada satu agamapun yang terbebas dari radikalisme. Mengitup buku Charles Kimbal, Ketika Agama Menjadi Bencana, Martinus menjelaskan ada 5 hal ketika agama menjadi sumber bencana yaitu, klaim kebenaran mutlak kepatuhan dan ketertundukan buta, membangun zaman ideal, tujuan menghalalkan segala cara, dan mendeklarasikan perang suci.

Menurut Martinus, gereja perlu menghindari kelima hal tersebut dalam rangka melawan redikalisme dan terorisme. Selain itu, mengindonesiakan agama bukan mengagamakan Indonesia untuk menghindari benturan antar peradaban/budaya. Juga dialog kebangsaan antar budaya anak bangsa untuk menciptakan keharmonisan.

Pdt. Tuhoni Telaumbanua saat menyampaikan pandangannya

Pada kesempatan itu berbagai pandangan juga disampaikan para pimpinan gereja. Seperti penuturan Pdt. Tuhoni Telaumbanua. “Ancaman terorisme ternyata telah lama mengelilingi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia dan oleh karenanya, merupakan tanggungjawab bersama seluruh elemen bangsa, termasuk gereja, untuk memerangi dan tidak memberi ruang baginya di tengah bangsa dan negara Indonesia,” demikian Pdt. Tuhoni Telaumbanua mengawali kesimpulannya di akhir seminar.

Selanjutnya Tuhoni mengatakan, “Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa hari ini Undang-undang Antiterorisme telah disahkan oleh DPR RI. Untuk selanjutnya kita sebagai gereja terpanggil untuk membaca dan mendalami undang-undang tersebut agar sungguh memahami dan dapat berkontribusi positif dan kritis dalam rangka pemberantasan radikalisme dan terorisme di Indonesia, tetapi pada saat yang sama juga tetap dalam kerangka penegakan dan penghargaan akan HAM”.

Bahkan dalam seminar beberapa pimpinan gereja mengkritik pola persekutuan gereja yang selama ini masih cenderung dan terbatas di kalangan elit pimpinan gereja melalui Sidang Raya, Sidang MPL dan Sidang Wilayah, sementara di lapangan, gereja-gereja masih berjalan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, seminar ini mengajak untuk bangkit dan mewujudkan persekutuan serta kerjasama lintas organisasi gereja, lintas denominasi, bahkan lintas iman. Salah seorang peserta, Pdt John Ruhulessin, Ketua PGIW Maluku, menggugat peserta untuk melakukan otokritik serta reformulasi atas ajaran dan misi gereja kita. Sering kali kita hanya merasa terganggu ketika “yang lain” menganggap kita sebagai “kafir”, padahal pemahaman dan ajaran gereja kita kadang melihat agama di luar kita adalah juga kafir.

Taufan Hunneman dan Etika Saragih dari Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika saat sosialisasi film LIMA

Olehnya Pdt Tuhoni mengajak Konperensi Pekabaran Injil yang akan berlangsung 29-31 Mei di Beratagi, mengevaluasi dan merumuskan ulang hakekat dan pelaksanaan misi gereja-gereja di Indonesia yang konteksnya adalah masyarakat majemuk. Di sisi lain, Pdt Willem TP Simarmata menuntut negara untuk sungguh-sungguh hadir dalam menciptakan rasa aman masyarakat, termasuk dalam beribadah. Simarmata juga menghimbau untuk memeriksa ulang kurikulum dan guru-guru yang ternyata beberapa menjadi agen dan saluran berkembangnya bibit radikalisme ini.

Dipenghujung seminar juga dilakukan sosialisasi Film LIMA oleh Taufan Hunneman dan Etika Saragih dari Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika. Film tersebut mengisahkan tentang pergulatan keluarga Indonesia dengan beragam persoalan mengenai keberagaman, aturan agama, dilemma pekerjaan, bullying, sampai pada pertanyaan mengenai masih adanya keadilan atau tidak untuk orang yang terpinggirkan. (markus saragih)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*