Gereja-Gereja Anggota LWF Sikapi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan

PEMATANG SIANTAR,PGI.OR.ID-Komite Nasional Lutheran World Federation (LWF) yang merupakan persekutuan dari 13 Gereja yaitu AMIN, BNKP, GKLI, GKPA, GKPI, GKPM, GKPPD, GKPS, GPKB, GPP, HKBP, HKI, dan ONKP mengeluarkan pernyataan sikap terkait RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan pada 29 Oktober 2018 itu, ditegaskan, pertama, mendukung usaha-usaha pemerintah dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Kedua, menolak ikut campur pemerintah dalam segala bentuk proses peribadatan keagaamaan yang ada di Indonesia. Ketiga, menegaskan bahwa Sekolah Minggu dan Katekisasi tidak berada di luar tradisi peribadatan kekristenan melainkan merupakan satu kesatuan.

Keempat, menolak dibuatnya payung hukum untuk Sekolah Minggu dan Katekisasi seperti yang tertera dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan karena selain tidak perlu hal ini dipandang sebagai bentuk campur tangan pemerintah dalam kekristenan. Kelima, meminta agar DPR mengkaji ulang pasal 69 dan 70 RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Keenam, meminta pemerintah untuk menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat beragama yang ada di Indonesia tanpa rasa takut maupun intimidasi dari pihak manapun.

Diawal pernyataan sikapnya, Komite Nasional Lutheran World Federation (LWF) menegaskan, salah satu tugas Negara sesuai dengan yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini dapat dicapai dengan membangun sebuah sistem pendidikan umum beserta perangkat-perangkatnya yang memadai baik yang formal maupun non-formal serta yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Oleh karena itu pemerintah bersama dengan DPR berperan membuat regulasi untuk menjamin keberlangsungan proses pendidikan tersebut. Demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam masyarakat sendiri terdapat kegiatan atau usaha mendidik yang tidak dapat terpisahkan baik dengan ritus-ritus keagamaan maupun kebudayaan. Dalam hal ini usaha atau kegiatan mendidik tersebut tidaklah berada pada ruang publik saja tetapi juga ruang privat karena proses ini ditujukan pada kalangan tertentu yang spesifik dan sistem yang dibangun berdasarkan pada iman serta kepercayaan pada ajaran tertentu.

Dalam agama Kristen ada yang disebut dengan pelayanan Sekolah Minggu dan Katekisasi. Pelayanan ini dimulai dari anak-anak berusia 3 tahun sampai remaja dan dilanjutkan kepada pemuda. Proses ini hanya dapat dipahami dan dinilai oleh orang-orang yang memeluk agama Kristen ataupun otoritas keagamaan Kristen itu sendiri. Dan proses ini tidak dipertanggungjawabkan kepada manusia ataupun Negara. Oleh karena itu proses ini bukanlah domain pemerintah untuk ikut campur seperti yang tertuang dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Dan sesuai dengan undang-undang dasar 1945 pasal 29 Ayat 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Maka seharusnyalah seluruh proses peribadatan diserahkan kepada otoritas keagamaan masing-masing. (markus saragih)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*