Gereja di Tengah Kompleksitas Realitas Asia

PGI – Busan. Asia adalah sebuah ironi. Agama-agama besar muncul di sini, termasuk kekristenan. Namun sejarah Asia adalah sejarah kolonialisme. Dulu Asia dijajah koonialisme, dan sekarang pun masih dijajah secara ekonomis. Kolonisasi belum berakhir di Asia dengan munculnya “imperialisme” baru, bernama neo-liberalisme.

Tanpa sadar masyarakat Asia kini disetir oleh imperialisme ini, dengan ide pertumbuhan kuantitas. Ini yang menghasilkan bencana ekologis dan krisis ekonomi. Wajah Asia adalah pabrik terbesar, dengan jam kerja yang tak manusiawi, pekerja anak, orang muda dengan gaji yang tak menjanjikan. Masyarakat hidup dalam akses terbatas, terusir dari tanah mereka dan dihukum oleh pengadilan yang tak adil. Pokoknya beragam penderitaan psikologis. Imperialisme baru ini sungguh-sungguh telah merusak Asia.

Celakanya, gereja hadir dengan teologi sukses, yang sejalan dengan sistem ini. Pertanyaannya kini, apakah kondisi ini akan terus dilestarikan?

Ms Yang Ya-Chi, seorang sosiolog yang kini bekerja sebagai koordinator kampanye Amnesti Internasional Taiwan, menggambarkan legenda tentang pelangi di Thailand. Menurutnya, bagi masyarakat Thailand pelangi merupakan jembatan untuk bertemu leluhur. Demikianlah hendaknya dengan gereja, yang harus terus berkomunikasi denan rakyat yang beragam. Gereja seharusnya menjadi jembatan antargolongan dan kasta. Inilah misi Gereja di Asia: menjadi duta perdamaian yang berakar di dunia ini.

Sementara Rev Connie Semy Mella dari Gereja Metodis Filipina bekata, “Melihat kompleksitas Asia, perdamaian rasanya seperti mimpi. Dan berjuta orang kehilangan suara, tapi saya tak akan mau diam!”

Oleh: Pdt. Gomar Gultom, M.Th. (Sekum PGI)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*