Gereja bawah tanah di Tiongkok adakan ibadat Natal secara sembunyi-sembunyi

Sekelompok orang Kristen berkumpul dalam sebuah ruang operasi gigi di apartemen di Beijing, dengan suasana penuh sukacita ketika paduan suara menyanyikan lagu-lagu Natal pada Malam Natal – tapi tirai tetap tertutup rapat.

Kelompok Kristen tidak diakui pemerintah tersebut telah lama menjadi tujuan tindakan keras, dan situasi memburuk seiring dengan meningkatnya jumlah mereka, dan Partai Komunis yang berkuasa bersikap lebih nasionalis di bawah pemimpinnya Xi Jinping.

Para anggota Shouwang, sebuah kelompok Kristen di Beijing yang menggelar ibadat Malam Natal, telah menghadapi lebih banyak masalah.

Sejumlah pastor dari kelompok itu – yang memiliki sekitar 1.000 anggota – berada di bawah tahanan rumah karena mereka berupaya mengadakan ibadat Paskah secara terbuka tahun 2011.

Meskipun demikian ada suasana Natal menyenangkan di apartemen lantai 12 itu, yang dihiasi pernak-pernik Natal dan puluhan umat menyanyikan lagu-lagu Natal versi bahasa Cina.

“Tahun ini situasi semakin parah karena polisi mulai menahan kami. Saya ditahan selama seminggu,” kata Zhao Sheng, 54, penyelenggara ibadat tersebut.

“Tapi, Natal adalah saat yang membahagiakan. Tidak peduli apa yang terjadi, Tuhan menyertai kami,” tambahnya sambil tersenyum.

You Zhanglao, salah satu dari mereka di bawah tahanan rumah, mengatakan dalam sebuah wawancara telepon bahwa ia telah merayakan Natal “di rumah bersama keluarga saya”.

Kehadiran Komunitas Kristen di Tiongkok telah menimbulkan kecurigaan sejak abad ke-19.

Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa secara resmi ateis melarang agama selama tahun 1960-an, tetapi jumlah orang Kristen meningkat hingga 10 persen setiap tahun sejak pembatasan  sekitar 30 tahun lalu.

Gereja-gereja bawah tanah ini secara teknis ilegal, menjadi alasan otoritas untuk menindak tegas jika mereka menginginkannya.

Jumlah umat Protestan di Tiongkok – sekitar 50 juta, menurut survei – tapi sebagian besar menghindari ke gereja dan ibadat karena khawatir ditindak otoritas.

Pemerintah setempat yang telah lama mentoleransi Gereja bawah Tanah, namun tahun lalu pihaknya telah bersikap keras.

Di Kota Wenzhou bagian timur, kadang-kadang dikenal sebagai “Yerusalem Cina” karena jumlah warga Kristen sangat banyak, polisi menyerbu gereja dan membongkar salib.

Tindakan keras yang sama berdampak pada lebih dari 400 gereja di Provinsi Zhejiang bagian timur, demikian China Aid, sebuah kelompok HAM yang berbasis di AS.

Richard Madsen, pakar Kristen Tiongkok di Universitas San Diego California, mengatakan “tampaknya ada langkah baru untuk mencoba menekan Gereja.”

“Ini berhubungan dengan nasionalisme pemerintah dan kekhawatiran Tiongkok bahwa agama asing memiliki koneksi di seluruh dunia,” tambahnya.

Sejak berkuasa tahun 2012, Presiden Xi Jinping telah memuji Konghucu, dan sebelumnya bertemu tokoh-tokoh Buddhis.

Hanya empat hari sebelum Natal, pihak berwenang di Zhejiang bentrok dengan penduduk setempat karena mereka merobohkan sebuah salib, lapor China Aid.

“Kami berdoa agar tahun tahun ini situasinya membaik bagi kami,” kata Wu Changyi, seorang Kristen di Wenzhou.

Meskipun kontrol ketat, “sebagian besar gereja rumah telah beroperasi dan beberapanya mengalami gangguan,” kata Yang Fenggang, seorang pakar di Purdue University di Amerika Serikat.

Akibat pemerintah menyita ruang ibadah mereka tiga tahun lalu, anggota Shouwang berkumpul di apartemen yang disewa oleh Gereja “New Tree”, yang telah mendapat persejutuan pemerintah setempat.

“Kami secara relatif bebas,” kata Pastor Wang Shuangyan dari Gereja New Tree, yang memimpin ibadat Malam Natal dimana dia membaptis lima anggota baru.

“Iman membawa kedamaian di hati,” kata Cheng Xiaohui, mahasiswa berusia 25 tahun, yang berlutut di tanah ketika Wang menuangkan air di atas kepalanya.

Pada ibadat terpisah Shouwang, seorang pengkhotbah paruh baya berbicara selama hampir satu jam tentang arti Alkitab, penciptaan, sifat dosa dan penebusan.

Tapi, ia menggarisbawahi dalam kotbahnya terkait kekhawatirannya terhadap  Partai Komunis.

“Di negara-negara seperti Uni Soviet, Korea Utara, dan Tiongkok yang menempatkan manusia di pusat dari segala sesuatu, namun situasi hak asasi manusia buruk, atau bahkan sangat miskin,” kata pendeta itu.

Pada penutupan kotbahnya, tirai dibuka, cahaya mengisi ruangan, sementara teriakan “Tuhan memberkati Anda” memenuhi ruangan disusul dengan berjabatan tangan dan berpelukan.

“Kami tidak perlu berhati-hati,” seorang wanita berusia 43 tahun bermarga Su mengatakan ketika ditanya tentang tekanan polisi. “Tuhan akan melindungi kita.”

Sumber: ucanews.com