FORCIDAS Laporkan Intoleransi dan Diskriminasi di Aceh Singkil Ke KOMNAS HAM

Ketua FORCIDAS, Boas Tumangger saat menunjukkan slah satu dokumen kepada KOMNAS HAM

JAKARTA,PGI.OR.ID-Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singkil (FORCIDAS), Boas Tumangger dan tokoh masyarakat Muslim Kecamatan Suro, Ramli Manik, melaporkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Jumat (22/4), bahwa kondisi Aceh Singkil pasca peristiwa pembakaran Gereja HKI pada 13 Oktober 2015 tidak semakin membaik, bahkan izin pembangunan gereja dipersulit meski seluruh persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Gubernur tahun 2007 tentang izin pendirian rumah ibadah telah dipenuhi.

“Berdasarkan data yang kami miliki, tercatat ada satu gereja yang sudah mengajukan izin pembangunan gereja sejak 28 Juni 1994. Namun, sampai saat ini izin tersebut tidak pernah keluar,” tandas Boas, yang didampingi perwakilan Posko Kemanusiaan Lintas Iman Woro Wahyuningtyas.

Pasca peristiwa pembakaran gereja pada 13 Oktober 2015, lanjut Boas, Pemerintah Daerah sudah menginstruksikan kepada seluruh rumah ibadah yang belum memiliki izin agar mengurusnya dengan segera. Dari 24 gereja yang ada, Pemerintah Daerah merekomendasikan pemberian izin kepada 13 gereja yang telah lolos verifikasi persyaratan. Namun, pada Rabu 20 april 2016, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKUB) menyampaikan bahwa 13 gereja tersebut proses perizinannya tidak berlaku lagi dan harus mengulang dari awal. Sehingga sampai saat ini belum ada kejelasan kapan pemerintah daerah akan menerbitkan surat izin pembangunan tersebut.

“Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, pihak FKUB dan Pemerintah Kabupaten terus berubah-ubah kebijakannya. Itu mempersulit panitia pendirian gereja dalam mengurus perizinan,” ujarnya kepada Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat.

Ketentuan lain yang dinilai mempersulit adalah mengenai syarat perizinan dalam peraturan pemerintah daerah yang mengharuskan adanya 150 KTP pengguna rumah ibadah dan 120 KTP dukungan dari masyarakat setempat. Sementara dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat, mensyaratkan 90 KTP pengguna rumah ibadah dan 60 KTP dukungan.

“Dari aturan soal KTP, pemerintah daerah punya tafsir yang berbeda. Menurut mereka KTP dukungan harus dari warga yang beragama Islam. Padahal dalam PBM (Peraturan Bersama Menteri) tidak diatur seperti itu,” kata Boas.

Pada kesempatan itu, dia juga menyampaikan keluhan terkait pendidikan di Aceh Singkil yang belum bebas dari praktik diskriminasi. Meski sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Sedangkan pelajaran agama menjadi satu syarat bagi kelulusan siswa.

“Karena itu, siswa non-muslim harus mengikuti pelajaran agama Islam, termasuk baca tulis Arab dan Al-Quran supaya bisa naik kelas atau lulus sekolah. Ada 23 persen umat Nasrani di sana, tapi tidak ada guru agama Kristen di Kabupaten Aceh Singkil. Padahal, persyaratan naik kelas adalah pendidikan agama. Jadi agar lulus ujian harus mengikuti pelajaran agama Islam,” paparnya.

Sebelumnya Boas juga menyampaikan kekecewaannya atas vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Aceh Singkil pada Kamis (21/4) yang menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada Hotma Uli Natanael Tumangger alias Wahid Tumangger. Kendati dalam persidangan tidak pernah dihadirkan satu pun alat bukti seperti senjata atau proyektil peluru yang membuktikan Wahid Tumangger melakukan perbuatan yang dituduhkan terhadapnya.

 

Editor: jeirry Sumampow