JONO OGE,PGI.OR.ID Tersedianya tempat tinggal permanen menjadi harapan masyarakat yang tinggal di Hunian Sementara (Huntara) Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Hal ini mengemuka saat PGI melakukan kunjungan diakonia ke lokasi Huntara di Jono Oge, Jumat (8/2). Saat ini, sebagian besar masyarakat memang sudah menetap di Huntara Jono Oge, termasuk warga jemaat Gereja Toraja (GT) dan Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID). Berbagai kebutuhan dasar pun bisa dikatakan terpenuhi, yakni seperti kebutuhan makan, sekolah, kesehatan, air/sanitasi dan tempat tidur. Hal ini didukung oleh banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja untuk membantuk masyarakat Jono Oge yang menderita akibat terjadinya likuifasi (penurunan tanah) menyusul bencana gempa di Sulawesi Tengah pada akhir September 2018.
Masyarakat Jono Oge rencananya berada di Huntara selama dua tahun sambil menunggu tersedianya hunian tetap. Sampai saat ini, Kondisi ekonomi mereka belum sepenuhnya pulih. Karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat Jono Oge harus bekerja serabutan sebagai tukang bangunan dan buruh tani. Gempa dan likuifasi telah menghancurkan sumber ekonomi mereka yang bertumpu pada peternakan dan pertanian.
Saat ini Masyarakat Jono Oge membutuhkan kepastian akan hunian permanen dan dukungan gereja-gereja untuk memulihkan kondisi ekonomi mereka. Berbagai hal seperti permodalan, dukungan peralatan dan pelatihan dibbutuhkan dalam rangka memulihkan kemandirian ekonomi masyarakat Jono Oge.
Jono Oge merupakan salah satu desa yang tekena likuifasi akibat bencana gempa yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018. Gempa ini memiliki kekuatan 7,5 skala Richter dengan kecepatan, menurut Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika (NASA), sebesar 14.760 km per jam. Gempa ini membuat terjadinya gelombang yang mengguncang permukaan tanah dan menyebabkan likuifasi.
Pewarta: Irma Simanjuntak
Editor: Beril Huliselan
COPYRIGHT PGI 2019
Be the first to comment