JAKARTA,PGI.OR.ID-Internet adalah sarana pertukaran innformasi yang masif, tak terkecuali menyebarkan informasi yang mengacam keberagaman Indonesia. Menurut pengamat data Irendra Rajawali, kelompok radikal agresif menggunakan berbagai kanal media sosial untuk menyebarkan paham radikal. Kelompok ini menggunakan instrument bot, semacam virus yang otomatis menyebarkan pesan-pesan radikal secara masif.
“Sayangnya percakapan tentang radikalisme di dunia maya belum kita tanggapi dengan serius. Maka sudah saatnya kita mewarnai jagat virtual dengan konten dan perbincangan yang menghargai kebhinnekaan.” jelas pengamat jebolan jebolan Universitas Bremen, Jerman ini, saat jumpa pers Kompetisi Video Pendek-Menjadi Indonesia, di Gedung Tempo, Jl Palmerah Barat No. 8, Jakarta Barat, Rabu (12/10).
Melihat kondisi tersebut, para pimpinan agama yang hadir dalam konprensi pers ini menyatakan dukungannya sebagai bentuk komitmen bersama untuk menjaga kerukunan dan kebhinnekaan di Indonesia demi perciptanya Indonesia yang damai.
Menurut Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, MTh, dunia maya sekarang ini memang sedang dimonopoli oleh pesan-pesan yang bernada kekerasan, anti perdamaian, dan intoleran. “Apa yang terjadi? Saya berpikir jangan-jangan orang-orang ini, yang suka mengupload kekerasan dan intoleran ini bekerja lebih dari 24 jam sehari, sementara kita-kita yang menyebut diri cinta kemanusiaan, cinta perdamaian hanya bekerja beberapa jam saja perhari, itu pun yang diupload foto makanan, jalan-jalan, dan sangat bangga menguploadnya,” katanya.
Sebab itu, lanjut Gomar, PGI sangat mendukung gerakan untuk mengupload pesan-pesan damai di dunia maya. “Kesadaran ini harus kita kembangkan sekarang di seluruh lembaga-lembaga agama, lembaga-lembaga pendidikan dan lainnya,” tegas Gomar.
Hal senada juga disampaikan Ketua PB NU Dr. KH. Marsudi Syuhud. Menurutnya, tugas kita adalah mengisi dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian, kerukunan, kehidupan bersama, keadilan bersama, dan cinta kasih. Sementara hal-hal yang sifatnya mengikis perdamaian, kebersamaan, keragaman, kebhinnekaan harus dihilangkan.
“Kita perlu mengisi dengan konten-konten lokal seperti misalnya bagaimana di NTT masyarakat Islam-Kristen di sana bisa hidup berdampingan, begitu pula di Papua. Konten lokal yang seperti ini, yang sifatnya rahmat dan nikmat, mari kita dorong untuk disampaikan di publik,” tandas Marsudi.
Sementara Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia Suhadi Sendjaja menegaskan, kehadiran agama-agama adalah untuk menciptakan perdamaian, bukan menimbulkan konflik. “Kita tidak bisa membiarkan agama justru dijadikan senjata untuk saling menyakiti. Maka mari kita bekerja keras, kalau mereka bisa bekerja 24 jam kita harus lebih bergiat untuk menyebarkan kebaikan di dunia maya,” ujarnya.
Kompetisi Video Pendek-Menjadi Indonesia
Kuatnya arus penyebaran radikalisme di dunia maya melatarbelakangi Tempo Institute, PB NU, Kemitraan, Gerakan Kebaikan Indonesia, dan Layaria untuk menyelenggarakan Kompetisi Video Pendek-Menjadi Indonesia. Program ini bukan sekadar kompetisi, melainkan ajakan kepada publik untuk turut serta merawat kebhinnekaan Indonesia melawan deradikalisasi dengan karya digital.