Dr. Abdul Mu’ti: Gerakan Pengkafiran Bentuk Kekerasan Teologis!

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti , M.Ed (kiri) saat menyampaikan pemikirannya.

JAKARTA,PGI.OR.ID-Menganggap orang atau kelompok lain sesat dan kemudian dianggap sebagai kafir merupakan salah satu bentuk dari kekerasan teologis. Implikasi dari kekerasan teologis itu kemudian diikuti dengan kekerasan-kekerasan fisik yang memang berdampak sangat serius terhadap kebebasan beragama bahkan juga dalam hubungannya dengan keamanan warga negara.

Beberapa kasus yang merupakan konsekuensi dari gerakan Takfir atau pengkafiran yang menjadi perhatian bersama menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti , M.Ed, yaitu kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan kelompok Syiah yang hingga saat ini masih tinggal di pengungsian.

“Sebab itu maka negara tidak boleh membiarkan para pengungsi ini tetap tinggal tempat pengungsian. Mereka tidak boleh terus-menerus dalam situasi ketakutan karena mereka memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan jaminan atas keyakinan yang mereka yakini sebagai pilihan hidup mereka,” ujar Abdul Mu’ti dalam diskusi Kebebasan Beragama, Gerakan Takfir dan Deradikalisasi, di kantor PB NU Jalan Kramat RayaNo. 164 Jakarta Pusat, Senin (22/2).

Gerakan pengkafiran, lanjut Abdul Mu’ti, dapat dikategorikan sebagai hatespeech atau pembicaraan yang tidak menyenangkan orang lain, walaupun argumennya adalah dalil-dalil agama. Sebab itu, penyelesaiannya dilakukan dengan pendekatan hukum, bukan pendekatan politik atau pendekatan teologis. “Kalau dia dengan pendekatan hukum maka tidak ada seorang warga pun warga negara yang kebal hukum,” tandasnya.

Abdul Mu’ti menambahkan, gerakan pengkafiran tidak hanya terjadi di agama Islam, tetapi juga agama lain. Dan gerakan ini muncul karena kecenderungan fundamentalisme agama dalam kehidupan global sekarang ini sangat kuat. Selain itu adanyanya sikap eksklusifisme dan perasaan yang paling benar sehingga menganggap yang lain itu seluruhnya salah.

Selain itu, gejala ini semakin kuat karena persoalan keagamaan seringkali digunakan dan disalahgunakan untuk kepentingan popularitas politik. Sebab itu, negara tidak boleh tunduk kepada tekanan-tekanan kelompok mayoritas. Melainkan tunduk kepada hukum, dan sudah menjadi kewajiban negara untuk menegakkan hukum dengan seadil-adilnya.

 

Editor:Jeirry Sumampow