JAKARTA,PGI.OR.ID-Rangkaian kegiatan Sidang MPL-PGI 2021 telah dimulai dengan diskusi panel (pra sidang) serta sharing wilayah yang dilaksanakan secara virtual, dan dipandu dari ruang sidang lantai 3 Grha Oikoumene, Jakarta, pada Jumat (22/1). Diskusi panel menyoroti Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI 2021 yaitu “Spiritualitas Keugaharian: Memperkuat Solidaritas Kebangsaan, Mengadaptasi Pola Hidup Baru di Tengah Pandemi”.
Membuka diskusi, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty dalam sambutannya menegaskan, Pikiran Pokok Sidang MPL-PGI 2021 sangat aktual dan kontekstual terkait seluruh pergumulan kita sepanjang 2020 sebagai gereja, bangsa dan juga pergumulan kemanusiaan secara global.
“Pandemi Covid-19 sebagaimana kita ketahui dan kita alami bersama merupakan sebuah koreksi kemanusiaan yang memang sangat dalam, untuk mengingatkan bahwa sesungguhnya kita rapuh baik secara fisik tetapi juga psikis, siapapun kita dari latarbelakang apapun, mudah terinfeksi oleh virus ini. Dan dalam waktu yang panjang secara psikis kita melihat banyak orang menjadi goyah, putus asa dan kehilangan harapan. Oleh karena itu, menjadi sangat aktual panggilan kita sebagai gereja untuk hadir, membela dan merawat kehidupan. Kita diajak merenung dalam-dalam dan mengembangkan sikap tahu diri, tahan diri, tetapi juga terpanggil untuk membangun solidaritas bersama,” jelasnya.
Lanjut Sekretaris Umum PGI, itulah prisip dan sikap dari spiritulatilas keugaharian yang dilaksanakan dalam perjalanan bergereja selama satu dekade terakhir ini. Spiritualitas demikian menjadi sangat signifikan untuk kita gelorakan dan terapkan didalam situasi saat ini.
Pada kesempatan itu, Kasubid Komunikasi Publik BNPB, Troy Pantouw mengungkapkan, trend yang terjadi saat ini adalah penularan Covid-19 semakin tinggi. Kondisi ini disebabkan menurunnya kepatuhan masyarakat untuk melaksanakan protokol kesehatan. “Kepatuhan ini menurun karena masih banyak warga tidak memahami konsekuensi dari Covid-19 ini, sehingga dia tidak berprilaku sesuai prokes. Ini masalah persepsi. Selain itu, ada faktor kelalaian dan juga abai. Akibatnya, hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat penularan, dan tingkat kematian pun semakin tinggi,” katanya.
Sebab itu, gereja serta para tokoh agama, sosial, budaya, ekonomi, dan lainnya, memiliki peran penting dalam rangka terus membangun kesadaran kepada masyarakat akan bahaya pandemi Covid-19. Sedangkan terkait bencana, Troy melihat bencana alam yang diakibatkan oleh cuaca ekstrim yang melanda Indonesia ini, perlu diantisipasi sedemikian rupa oleh masyarakat. Perlu persiapan yang tepat, benar, dan sunguh-sungguh, karena banyak berita hoaks yang bertebaran di tengah masyarakat terkait persoalan bencana.
“Kata kunci dalam menghadapi bencana maupun pandemi Covid-19, yang sedang terjadi di Indonesia ini, menurutnya adalah solidaritas, dan hikmat sehingga kita dapat dengan tepat untuk melakukan apa yang betul-betul harus dikerjakan di tengah bencana ini,” tandasnya.
Dari perspektif ekonomi, peneliti INDEF, DR. Aviliani memaparkan, isu global yang paling memprihatinkan di tengah pandemi Covid-19 ini yaitu jika pandemi berjalan dalam waktu yang cukup panjang sehingga dikhawatirkan daya tahan masyarakat dan dunia usaha makin terbatas, meningkatnya pengangguran yang menyebabkan turunnya daya beli, kemiskinan cenderung akan meningkat seiring dengan terhambatnya ekonomi, diikuti dengan terjadinya kesenjangan sosial, kejahatan yang meningkat akibat ekonomi memburuk, dan perhatian terhadap kesehatan menjadi lebih tinggi.
Lanjut Aviliani, tantangan ekonomi Indonesia jangka panjang antara lain perubahan perilaku masyarakat yang akan menjadi permanen yaitu gaya hidup berinteraksi secara online, sehingga akan mempengaruhi dunia usaha secara langsung di masa mendatang. Selain itu, digitalisasi ternyata lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, sehingga yang tidak mampu beradaptasi akan tersingkirkan.
Di tengah keprihatinan tersebut, menurutnya masyarakat harus digerakkan untuk menjadi pelaku ekonomi. Dan, Gereja berperan dalam rangka mengurangi kesenjangan lewat pemberdayaan UMKM. “UMKM adalah yang sangat terdampak oleh pandemi, padahal peranan UMKM terhadap perekonomian nasional sangat besar. Peranannya terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai 97 persen, dan terhadap dunia usaha mencapai 99,9 persen. Pemberdayaan ini yang harus dilakukan, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga gereja, yang bisa berfungsi sebagai jembatan karena dekat dengan umat, untuk mendapatkan akses,” katanya.
Sementara itu, MPH-PGI, Pdt. Dr. Bambang Widjaya mengatakan, di tengah kondisi bencana dan pandemi Covid-19, ada tiga hal yang harus dilakukan oleh gereja. Pertama, perlu melakukan introspeksi. Gereja perlu melakukan telaah terhadap sikap dan tata nilai yang selama ini dipegang. Telaah dengan memilah antara hal-hal yang bersifat essential atau hakiki, dengan yang bersifat optional atau pelengkap. Apabila kita tidak dapat membedakan di antara keduanya, dan sebagai akibat hal-hal yang bersifat hakiki kita nomor duakan, sedangkan hal-hal yang sesungguhnya merupakan pelengkap justru kita utamakan, pasti kita akan mengalami persoalan.
“Oleh karena itu kita perlu terus meneruskan melakukan introspeksi, yaitu dengan menelaah apakah yang selama ini menjadi tata nilai dalam kehidupan bergereja kita? Kita perlu bertanya terhadap diri kita sendiri, yaitu apakah selama ini kita lebih mendahulukan hal-hal yang bersifat optional daripada hal-hal yang sejatinya bersifat essential? Pada hakikatnya itulah roh dari spiritualitas ugahari yang ingin dikembangkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Kita akan hidup secara ugahari apabila kita mengutamakan hal-hal yang hakiki dan tidak memprioritaskan hal-hal yang bersifat pelengkap dalam kehidupan kita,” jelasnya.
Kedua, perlu bersikap memandang ke luar. Sebaliknya dari bersikap inward looking, sepatutnya gereja harus bersikap outward looking. Lebih dari sekadar memikirkan kepentingan dirinya sendiri, gereja perlu semakin menyadari eksistensinya di dunia sebagai garam dan terang dunia (Matius 5:13-14). Garam ada untuk menggarami lingkungannya. Terang hadir untuk menerangi tempat di sekitarnya. Semua itu mencerminkan sikap memandang keluar, atau outward looking.
“Tentu kita menyadari bahwa di tengah masa pandemi ini bukan hanya warga gereja saja yang mengalami dampaknya, tetapi seluruh masyarakat kita. Apabila kita bersikap setia kepada panggilan kita untuk menjadi saksi Kristus di dunia, maka di tengah masa pandemi ini kita perlu melakukan langkah-langkah bersama guna ikut meringankan penderitaan masyarakat kita. Sehingga dengan demikian kesaksian kita bukanlah hanya sekadar dalam kata-kata dan sebatas dalam slogan, namun dalam tindakan nyata,” tegasnya.
Masa pandemi ini, lanjut Pdt. Bambang, seharusnya mengubah orientasi gereja. Dari gereja yang bersikap terus memandang ke dalam, kita perlu mulai memandang ke luar. Untuk itu gereja antara perlu mengembangkan teologi kebencanaan. Teologi ini bukan hanya dengan maksud untuk menjawab pertanyaan theodicy, yaitu dengan maksud untuk pelayanan pastoral bagi warga jemaat yang menderita oleh karena bencana, namun juga untuk menanggapi pernyataan etis yang Yesus sampaikan, yaitu: “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang.”
Ketiga, perlu bersikap kreatif. Menurutnya, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 dan melanda seluruh dunia telah membawa perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Perubahan ini mencakup juga perubahan perilaku dan budaya, termasuk budaya dalam bergereja. berberapa perubahan dapat kita amati sedang terjadi di tengah jemaat di dalam kurun waktu sepuluh bukan terakhir. Di antaranya yaitu budaya dalam mengikuti ibadah. Sebagian gereja, khususnya yang di perkotaan dan yang dengan jumlah warga jemaat yang cukup besar harus mengubah ibadah mereka menjadi ibadah daring. Perubahan ini berdampak terhadap konsep ekklesiologis dan liturgia dalam jemaat.
“Tentu ibadah secara daring yang diikuti oleh warga jemaat dengan menonton dari rumah mengakibatkan mereka tidak mudah untuk mengikuti ibadah dengan konsentrasi penuh, seperti apabila mereka mengikuti ibadah secara langsung di gedung gereja. Apalagi rentang waktu untuk berkonsentrasi dalam menonton ibadah di layar elektronik bersifat singkat. Semua ini tentu mengharuskan gereja untuk mengubah pola liturgi mereka, khususnya dalam hal berkhotbah dari yang bersifat linear menjadi non-linear. Hal ini tentu memerlukan kreatifitas bagi para pengkhotbah,” katanya.
Sharing Wilayah
Usai panel diskusi, dilanjutkan dengan sharing wilayah yang dibagi dalam 7 room. Room 1: Sumatera bagian Utara (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat), Room 2: Sumatera bagian Selatan (Jambi, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan), Room 3: Jawa dan Banten, Room 4: Bali, NTB, NTT dan Kalimantan, Room 5: Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, Room 6: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara dan Room 7: Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Setiap room, mendiskusi beberapa topik bahasan, seputar isu aktual di wilayah dan sejauhmana isu aktual tersebut diresponi gereja-gereja, sejauhmana respon gereja atas isu Covid-19 dan dampaknya, sejauhmana keputusan-keputusan Sidang Raya XVII dipahami dan dilaksanakan oleh gereja-gereja di wilayah masing-masing, semisal: gereja-gereja mengembangkan spiritualitas keugaharian, gereja-gereja berupaya dalam menghadapi krisis kebangsaan, krisis ekologi, krisis keesaan, gereja dan tantangan revolusi industry 4.0, gereja-gereja sudah memiliki task force pengurangan risiko bencana (PRB), dan sejauhmana keterlibatan gereja dalam Gerakan Oikoumene.
Pewarta: Markus Saragih