JAKARTA,PGI.OR.ID-Globalisasi dan peningkatan liberalisasi perdagangan yang kini tengah berlangsung, tidak hanya menuntut sirkulasi barang, jasa dan modal, tetapi juga manusia yang dalam hal ini adalah pekerja migran (migrant worker). Perbedaan ekonomi dan demografi antar negara membuat transfer pekerja migran ini muncul sebagai ‘natural response’ dalam globalisasi dunia.
Selama dekade terakhir ini, jumlah pekerja migran telah mengalami peningkatan hingga 6 juta per tahunnya, hingga kini total mencapai 175 juta orang. Bahkan menurut hasil laporan International Labour Conference, bahwa jumlah keseluruhan pekerja migran internasional di seluruh dunia bisa dikatakan sebagai negara berpenduduk terpadat ke-5 di dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dalam dekade ke depan karena ketidakmampuan globalisasi dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan kesempatan ekonomi yang memadai.
Persoalan pekerja migran bukan hanya soal uang atau pekerjaan itu sendiri tetapi pekerja migran kerap dan dekat dengan isu perdagangan manusia. Perdagangan manusia adalah kejahatan kemanusiaan yang rentan dialami oleh perempuan dan anak-anak untuk berbagai tujuan termasuk kerja paksa dan eksploitasi seksual. International Labor Organization (ILO) memperkirakan ada sekitar 21 juta orang yang menjadi korban kerja paksa secara global. Perkiraan ini juga termasuk korban perdagangan manusia untuk eksploitasi tenaga kerja dan seksual. Berdasarkan laporan Global Report on Traffickingin Persons, sepertiga dari korban perdagangan manusia merupakan anak-anak, dan 71% korban adalah perempuan (un.org).
Di Indonesia, dilaporkan bahwa perempuan dan anak perempuan kelompok besar korban perdagangan orang, yaitu 30% anak perempuan dan 55% anak laki-laki di tahun 2014 (unodc.org). Praktik perdagangan manusia bertentangan dengan prinsip dasar kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan sebagai korban paling rentan.
Dalam konteks migrasi global, dimana buruh migran berasal dari daerah-daerah miskin dan perbatasan, hal ini juga menjadi catatan bahwa masih banyak praktik migrasi tidak aman, sehingga buruh migran (mayoritas perempuan) kehilangan akses keadilan dan terjebak dalam perdagangan manusia internasional. Kasus terakhir yang mengemuka adalah perdagangan perempuan dan anak perempuan dengan modus pengantin pesanan untuk dibawa ke China dengan korban dari Kalimantan Barat dan Jawa Barat.
Sindikat perdagangan manusia memanfaatkan posisi rentan korban yang berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, anak-anak, janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya dengan iming-iming uang, penipuan dan pemalsuan dokumen. Sejumlah korban sudah berhasil dipulangkan berkat upaya sejumlah pihak seperti Serikat Buruh Migran Indonesia, sementara korban lain masih dalam proses pemulangan oleh pemerintah.
Gereja-gereja bisa dikatakan berada dalam situasi yang tidak mudah mengingat persoalan pekerja migran dan perdagangan manusia, yang juga terjadi di daerah-daerah Kristen, mbvemiliki akar masalah yang kompleks dan tidak mudah dipecahkan. Ini belum lagi persoalan internal gereja yang membuat isu pekerja migran belum mendapat posisi yang menonjol dalam kehidupan gereja, bahkan luput dari perhatian gereja. Namun demikian, gereja terpanggil untuk peduli akan pekerja migran dan perdagangan orang. “… karena aku lapar dan kau memberiku makanan, Aku Haus dan kau memberiku sesuatu untuk diminum, aku adalah orang asing dan kau menyambut aku, aku telanjang dan kau memberiku pakaian, aku sakit dan kau memberiku, aku berada di penjara dan kau mengunjungi saya. ” (bdk. Matius 25: 35-40).
Demikian latarbelakang dari kegiatan Diseminasi Advokasi Holistik Pekerja Migran dan Sosialisasi Pertemuan Raya Perempuan Gereja Wilayah Jawa dan Kalimantan, di Gereja POUK Citra Gran, Cibubur, Bekasi, Kamis (29/8). Kegiatan yang diselenggarakan oleh Biro Perempuan dan Anak (BPA) PGI, bekerjasama dengan PGIW Jawa Barat ini, bertujuan untuk mensosialisasikan PRPrG, dan memberi ruang diskusi kepada peserta utusan gereja-gereja, tentang pelayanan perempuan dan anak dan juga isu-isu pekerja migran.
Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom, dalam paparan materinya bertajuk Gereja dan Pekerja Migran mengungkapkan, Kitab Yeremia 29:7 “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu,” merupakan ajakan kepada gereja-gereja untuk tidak pasif dalam menghadapi realitas di mana mereka berada. Namun sebaliknya, harus aktif mensejahterakan masyarakatnya, bukan hanya kesejahteraannya sendiri.
Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, lanjut Pdt. Gomar, Gereja harus berani mengatakan keterlibatan sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, dan sebagainya, merupakan bagian dari pewartaan gereja. Sehingga tidak ada evangelisisasi tanpa keterlibatan sosial, dan tidak ada pewartaan iman tanpa perjuangan keadilan. “Sebab itu, jika bicara sejahterakanlah kota mu dimana kamu diutus, tidak bisa terlepas dengan persoalan yang ada di dunia. Salah satunya yaitu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Terkait persoalan ini kita melihat banyaknya korban akibat kasus pekerja migran, perdagangan anak, bahkan perdagangan organ tubuh, ” jelasnya.
Lanjut Sekum PGI, meski banyaknya perangkat hukum yang terkait persoalan ini, seperti dalam Pembukaan UUD 45, Kepres No 50 Tahun 1993 tentang pembentukan Komnas HAM, Ketetapan MPR No 17 tahun 1998 tentang HAM, dan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM, korban tetap saja berjatuhan. Hal ini disebabkan hukum tidak sungguh-sungguh diterapkan.
Menurut Pdt. Gomar, manusia yang adalah gambar Allah, dipanggil untuk berhadapan dengan dunia ini, dan memberlakukan Kerajaan Allah bersama seluruh ciptaan. Turut aktif dalam penegakkan hukum dan HAM merupakan bagian dari pemberitaan Injil Kerajaan Allah. Sebab isi Injil Kerajaan Allah adalah damai sejahtera, yakni kebebasan dan keadilan (Lukas 4:18-19). Dan, di mana Gereja hadir, di sana hadir daya penebusan Kristus yaitu yang buruk menjadi baik, yang tidak adil menjadi adil, yang bengkok diluruskan, kebencian diganti kasih sayang, dendam diganti belas kasihan, dan yang lemah diberdayakan.
Pemetaan Isu-isu
Usai sosialisasi PRPrG, peserta melakukan diskusi kelompok untuk memetakan isu-isu pekerja migran, perempuan dan anak di wilayah Jawa dan Kalimantan. Ada lima pertanyaan pokok dalam diskusi kelompok, yaitu perlindungan dan pemenuhan hak anak dan disabilitas, perlindungan perempuan dari bentuk-bentuk kekerasan, pemberdayan perempuan dalam ekonomi, pekerja migran dan pasca bencana, dampak kesehatan dan kemiskinan terhadap perempuan dan anak, serta perempuan terkait demokrasi, kebhinekaan dan korupsi.
Dari diskusi kelompok, muncul sejumlah catatan menarik yang perlu mendapat perhatian gereja, di antaranya, penting Gereja memberikan penyuluhan kepada warga gereja terkait persoalan pekerja migran, menjadi shelter bagi para perantau, membuat Balai Latihan Kerja (BLK) bagi pekerja migran, membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan, mendorong pemerintah untuk memperhatikan kualitas BLK, dan menjalin kerjasama dengan lembaga keuangan/permodalan untuk membuat kampung industri.
Sementara terkait perempuan dan anak, Gereja diingatkan pentingnya peningkatan pendampingan pasca pernikahan, pemberantasan buta huruf, konseling pra nikah yang holistik, hotline service, serta sosialisasi usia ideal berumah tangga. Sedangkan dalam kaitannya dengan disabilitas, perlunya melibatkan SDM difabel, penyediaan pembina/pengajar bagi ibu muda yang memiliki anak berkebutuhan khusus, sosialisasi agar orangtua tidak malu jika memiliki anak difabel, dan tersedianya ruang ibadah yang mudah diakses oleh difabel.
Diakhir diskusi kelompok, Kepala Biro Perempuan dan Anak PGI, Repelita Tambunan menyampaikan, catatan dari diskusi tersebut akan dibahas secara mendalam dalam PRPrG, yang akan berlangsung pada 2-5 November 2019 di Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Diseminasi Advokasi Holistik Pekerja Migran, dan Sosialisasi Pertemuan Raya Perempuan Gereja Wilayah Jawa dan Kalimantan ini, diikuti sekitar 150 peserta yang merupakan perwakilan dari Komisi Perempuan PGIW DKI, PGIW Banten, PGIW Jabar, PGIS Depok, PGIW Kalimantan Barat, PWKI, dan perwakilan sinode gereja.
Pewarta: Markus Saragih
COPYRIGHT © PGI 2019