PGI.OR.ID – Ketika kutermenung memandang kedua tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, yg mewakili seluruh bangsa Indonesia … terjadi dialog batin:
“Sudah berapa lamakah Indonesia yg telah kami proklamasikan dahulu merdeka?” tanya mereka padaku.
“70 tahun sejak merdeka tahun 1945!” jawabku demikian.
“Mengapa kami masih mendengar banyak orang datang ke tempat ini mengadu bahwa mereka masih dijajah kemiskinan, dijajah kebodohan, masih sering kami dengar rakyat kecil tak berdaya diperlakukan tak semestinya oleh mereka yg merasa lebih kuat berkuasa. Sesama anak bangsa saling menjajah saudara sebangsanya sendiri. Mengapa sudah merdeka tapi kalian seperti sedang tertawan, sebagian seperti sedang berperang. Bangsa ini harusnya sudah sejajar dgn bangsa lain dalam pentas dunia seperti saat kami memimpin. Kalian sudah kami merdekakan dengan darah nyawa para pahlawan dari para penjajah, mengapa kalian menjajah diri kalian sendiri, saling menjajah bangsa sendiri?” tanya mereka lagi.
Akupun terdiam mendengar teriakan mereka ….
“Kenapa mereka beribadah di tempat ini, bukan di rumah ibadah mereka?” mereka terus melancarkan pertanyaan bertubi-tubi padaku.
Akupun menjawab: “Gereja mereka disegel, dilarang beribadah. Padahal keputusan MA & PTUN sudah berkekuatan hukum tetap bahwa mereka menang secara hukum. Lembaga Ombudsman juga sudah merekomendasikan secara wajib bahwa mereka harus dipenuhi hak-haknya. Tapi pemerintah daerah setempat secara jelas melawan hukum dab konstitusi. Mereka mengalami diskriminasi hukum, hak asasi mereka dilanggar.”
Jawab mereka lagi: “Tindakan macam apa lagi ini, sungguh memalukan dan merendahkan nilai perjuangan para pahlawan dan para pendiri bangsa ini. Kami sudah sepakat berjuang bersama dari berbagai kelompok, suku, agama, ras, kami bersatu dari perbedaan bahasa, karena kami bersatu itulah maka kami kuat dan menjadi bangsa yang merdeka. Mengapa ada yg berani merampas kemerdekaan anak bangsa, menjajah rakyat Indonesia?”
Akupun melihat tetesan air mata mereka membanjiri sekitar kami. Begitu derasnya hingga seperti hujan turun di tengah siang bolong dibawah panas teriknya matahari. Kurasakan betapa mereka teriris sakit menyaksikan apa yang terjadi.
Sesaat kamipun membisu hanya tetesan air mata yang terus terjatuh ….
Suara mereka lagi padaku: “kenapa beberapa dari mereka baik umat yang sedang beribadah maupun yang hadir ikut merayakan kemerdekaan, para ibu yang berhijab hitam, mereka menangis meneteskan air mata saat menyanyikan lagu Indonesia Raya?”
“Mereka itu kelompok lintas iman yang merasakan hal yang sama seperti umat gereja. Mengalami kekerasan atas nama agama oleh kelompok intoleran. Mungkin mereka menangis pedih tatkala menyebut Indonesia Raya yang mereka cintai tapi mereka merasa terusir, tidak dilindungi, tidak dijamin hak2 asasinya. Peristiwa demi pristiwa apa yang mereka alami sungguh menyakitkan, pedih. Itu sebabnya mereka menangis. Mereka itu saudara kami kelompok Syiah, Ahmadiyah dan beberapa penganut kepercayaan lain,” demikian sahutku.
Akupun terus terhanyut dalam perbincangan dengan mereka … begitu banyak catatan pertanyaan maupun pernyataan yg mereka ungkapkan padaku. Berbagai isu demi kemajuan Indonesia, kemerdekaan sesungguhnya.
Saat aku hendak undur diri, tiba-tiba merekapun memanggilku lagi ….
Kata mereka: “Nak sebentar, mengapa itu di Jogja ada sekelompok orang naik moge merampas kemerdekaan warga lain untuk nyaman & tertib, menjajah jalanan dari para pengguna jalan yg lain?”
Jawabku: “Apakah itu berarti mereka disana belum merdeka? Coba nanti aku tanyakan kepada pahlawan yg berani menghadang mereka …. aku mohon diri dulu!”
Akupun melangkah mundur dan berlalu dari hadapan para pahlawanku, bapak pendiri bangsa yg telah menjadi proklamator kemerdekaan RI. Hormatku kepada mereka sambil mengepalkan tangan berteriak:
MERDEKAA …. MERDEKAAA …. MERDEKKAAAA!