Dibutuhkan Keterbukaan untuk Berjalan Bersama Masyarakat Adat

Gereja-gereja juga didorong untuk melakukan sosialisasi RUU Masyarakat Adat

PARAPAT,PGI.OR.ID-Keterbukaan merupakan posisi penting yang dibutuhkan untuk berjalan bersama-sama dengan masyarakat adat. Dalam konteks keterbukan itulah, berbagai pihak didorong untuk menghormati dan menerima masyarakat adat sebagai sesama warga negara yang setara di hadapan hukum.

Ini merupakan pesan yang mengemuka dalam rangkaian Seminar Agama-Agama (SAA) ke-33 yang diadakan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, berlangsung di Parapat, 20-23 Maret 2018. Pergerakan masyarakat adat saat ini, menurut Abdon Nababan dari aliansi masyarakat adat, tidak lepas dari upaya merespons pencaplokan tanah adat yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Di masa orde Soeharto, pola pencaplokan tanah adat ala pemerintah kolonial Belanda diteruskan oleh pemerintah Indonesia. Ini berdampak pada hilangnya puluhan juta hektare tanah adat, serta terpinggirnya kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat. Selain itu, pola seperti ini juga mengakibatkan terjadinya berbagai konflik keluarga dan konflik horizontal lainnya.

Dalam pembacaan Johny Simanjuntak, salah satu anggota Komisi Hukum PGI, Pemerintah Orde Soeharto mengeksploitasi alam secara besar-besaran sehingga berdampak pada terabaiknya hak-hak masyarakat adat atas tanah dan kebudayaan mereka. Di wilayah Sumatra Utara misalnya, sebagaimana disinggung oleh Bungaran Antonius, tanah-tanah adat pada dasarnya adalah milik berbagai marga. Namun, ini kemudian dipecah-pecah oleh pemerintah Kolonial Belanda, lalu diteruskan Orde Soeharto di mana tanah-tanah adat yang dimiliki marga dibingkai dalam hutan negara.

Hal serupa juga terjadi dengan dengan desa adat Rumah Olat di Seram Utara , Maluku. Wilayah adatnya dicaplok Pemerintah Kolonial dan statusnya sebagai desa diturunkan sehingga mempermudah penguasaan wilayah adat. Di era Orde Soeharto, desa adat Rumah Olat diturunkan statusnya menjadi dusun melalui UU Pemerintahan Desa tahun 1979. Ini diikuti dengan penyusutan wilayah adat yang tentunya membuka jalan bagi penguasaan wilayah adat. Kini Rumah Olat masih berjuang untuk meminta pengembalian statusnya sebagai desa adat.

Dalam situasi seperti ini, agenda pembangunan di berbagai daerah praktis tidak memberi ruang bagi penguatan status masyarakat adat. Ini tampak dalam sejumlah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diteliti Litbang PGI. Bahkan, gereja pun memperlihatkan gejala serupa. Penguatan status masyarakat adat praktis tidak menjadi agenda utama gereja. Hal ini ditengarai akibat tantangan yang dihadapi gereja di tengah dinamika politik lokal yang ada, serta persoalan teologi dan kepemimpinan gereja yang menghambat arah penguatan masyarakat adat.

Dalam konteks ini, peserta SAA ke-33 menghimbau agar gereja-gereja mengedepankan keterbukaan teologi dalam rangka membangun dialog dan aksi untuk memperkuat masyarakat adat, serta juga membangun jaringan dengan lembaga-lembaga keumatan untuk merumuskan sikap tentang penguatan masyarakat adat.

Gereja-gereja juga didorong untuk melakukan sosialisasi RUU Masyarkat Adat, memperkuat SDM dalam rangka penulisan sejarah bersama gereja dan masyarakat adat, mendorong berbagai pihak untuk ambil bagian dalam penyelesaian konflik-konflik terkait masyrakat adat dan melakukan diskusi di sejumlah wilayah untuk membangun kesadaran dan aksi hidup bersama masyarakat adat. (Beril Huliselan)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*