GUNUNG KIDUL, PGI.OR.ID – Dengan semangat bahwa Gereja peduli akan kebhinnekaan dan masa depan bangsa, Badan Pelaksana Klasis Gunungkidul Bidang Sosial Politik dan Badan Kerjasama Gereja-gereja Gunungkidul (BKS-GK) menyelelanggarakan Dialog Kebangsaan sebagai bentuk tanggapan serius akan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Gunung Kidul. Dialog Kebangsaan juga berusaha menghadirkan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Gunungkidul di Resto Neilasary, Siyono, Gunungkidul, Rabu (25/11).
Dalam dialog ini, gereja-gereja tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Kebhinnekaan, yaitu kerjasama gereja dengan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH Jogja), Pemuda Katholik Gunungkidul serta Pena Bulu Yogyakarta.
“Kegiatan ini sebagai bentuk respon serius gereja-gereja terhadap pelaksanaan Pilkada serentak agar siapapun Paslon yang nanti terpilih bisa menghargai keragaman dan menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan, itu wujud kecintaan kami pada Gunungkidul, Indonesia, dan kemanusiaan“ ungkap Pdt. Christiono Riyadi, SIP., S.Th selaku Ketua Bapel Bidang Sospol Klasis Gunungkidul.
Isu sentral yang diangkat yaitu tentang Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia, khususnya di Gunungkidul. Secara umum potret kondisi kehidupan beragama dan berkepercayaan di Indonesia masih buruk. Di beberapa daerah tergambar kondisi yang memprihatinkan, misalnya kondisi pembakaran tempat-tempat ibadah di Singkil, Aceh, pembakaran sanggar penghayat kepercayaan di Rembang, Jawa Tengah, dan lain-lain.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai kota toleran, potret buram pun juga terlihat. Beberapa kasus penutupan tempat ibadah, penolakan kegiatan keagamaan, ujaran kebencian terhadap mazab keagamaan tertentu juga terjadi. Khususnya di Gunungkidul pun tidak luput dari kondisi itu, misalnya penutupan beberapa gereja yaitu Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Semanu, Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) Playen, Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Balong Girisubo, Penghentian pembangunan Gua Maria Wahyu Ibu-Ku di Gedangsari, dan lain-lain.
Menurut Pdt. Christiono hal ini dirasa sangat penting dilakukan, menjadi penyadaran kondisi kehidupan beragama dan berkepercayaan di Gunungkidul dan bagaimana visi-misi para paslon Bupati terkait dengan ini. Apakah sudah ada pemahaman yang baik dari para paslon tentang hal ini? Apakah ada pemahaman yang baik dari para peserta, khususnya warga gereja, tentang hal ini? Ini adalah ruang dialog, di sisi yang lain juga bisa menjadi ruang aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkepercayaan dari masyarakat untuk calon pemimpin daerah Gunungkidul.
Pasangan Calon Bupati Gunungkidul dalam Pilkada ini ada empat Paslon Bupati yaitu No.1 Badingah-Immawan Wahyudi, No.2 Benyamin Sudarmadi-Mustangid, No.3 Djangkung Sujarwadi-Endah Surbekti, No.4 Bardi- Wahyu, namun yang bisa hadir hanya Paslon Bupati yaitu Pasangan Bp. Benyamin-Sudarmadi dari jalur independen.
Dalam dialog ini Paslon mengingatkan bersama untuk kembali menguatkan spirit kebersamaan seperti jaman kemerdekaan. Calon pemimpin Kabupaten Gunungkidul ini menggambarkan kehidupan beragama seperti lima orang yang tidur mendengkur, masing-masing tidak akan terganggu jika sudah tidur. Maksudnya jika semua komunitas agama lebih introspeksi diri dan sesuai tatanan diri maka gangguan-gangguan dari kelompok lain tidak akan menimbulkan intoleransi.
Dalam tanggapannya, beliau menyatakan akan berani untuk membuat perda yang bertentangan dengan Peraturan Bersama Dua Menteri Tahun 2006 yang diskriminatif demi kehidupan kebebasan beragama dan berkepercayaan. Atas beberapa masalah yang ada di Gunungkidul, Benyamin menegaskan Kabupaten Gunungkidul kedepan butuh pemimpin negara bukan pemimpin agama. Ia mengatakan, pemimpin harus memiliki keberanian berdiri menegakkan konstitusi menjaga keberagaman dan mewujudkan kerukunan antar agama.
Untuk kepentingan itulah, cabup nomor urut 2 mengaku, dalam visi misi pihaknya paling jelas mengurai dengan gamblang nilai-nilai pancasila harus menjadi dasar dalam melahirkan kebijakan dan pembangunan daerah. ‘Regulasi keagamaan sudah ada sebagai produk hukum pemerintah pusat. Tugas pemimpin harus berdiri menegakkan konstitusi dan aturan apapun resikonya harus berani dihadapi,’ kata Benyamin sembari menegaskan janjinya jika terpilih memimpin Gunungkidul akan mempermudah berbagai perizinan untuk semua aktivitas keagamaan dan pendirian rumah ibadah.
Moderator dialog kebangsaan, aktivis Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, Hafizen, menyatakan perlunya jawaban calon bupati kedepan menjadi bahan masyarakat untuk menagih janji dan komitmen apabila kebijakan yang dibuat tidak sesuai apa yang dikatakan pada acara ini. Hafizen mempertegas, pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti menjadi pemilih cerdas untuk melihat berbagai permasalan sensitif agama. Ia melihat akhir-akhir ini ada proses alamiah membentuk karakter pemimpin yang yakni pemimpin yang sekedar hobi bertemu rakyat tapi tidak kerja, pemimpin yang tidak hoby bertemu mendegarkan keinginan rakyat dan cukup bekerja dengan pengusaha atau pemodal, pemimpin yang tidak suka bertemu rakyat tapi juga tidak bekerja.
“Yang sedang dibutuhkan dan paling rindukan kita semua memang pemimpin yang memiliki hoby bertemu rakyat untuk mendengar keinginan, barulah dia bekerja. Memang sulit, tapi harus kita ditemukan untuk Gunungkidul ini,” papar Hafizen.
Dalam kesempatan itu, panitia dialog kebangsaan, Agnes Dwi Rusjiati, mengatakan, pertumbuhan toleransi, kerukunan dan kebebasan beragama menurut laporan Wahid Institud menempatkan DIY sebagai provinsi kedua intoleran setelah Jawa Barat. Laporan dirilis Wahid Institut pada tahun 2014 dari angka kasus kekerasan atas nama agama menimpa agama dan keyakinan lain. “DIY peringkat II nasional. Dan di DIY ini Kabupaten Gunungkidul unggul berada di posisi jawara dengan jumlah kasus intoleran tertinggi. Dari sini kami titipkan kebhinekaan harus terus dihidupkan dari para calon pemimpin Gunungkidul,” kata aktivis LSM Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika
Peserta yang hadir sekitar 60an orang terdiri dari perwakilan gereja-gereja inter denominasi di Gunungkidul, perwakilan dari lintas iman, Hindu, Budha, pemuda Katholik, dari Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, perwakilan mahasiswa Gunungkidul, perwakilan dari difabel, organisasi perempuan, jaringan pesantren di Gunungkidul, dan beberapa elemen lainnya. Banyak harapan-harapan yang muncul antara lain dari komunitas Ahmadiah yang merasa resah terkait dengan sekelompok kecil yang mendesak dan mengatasnamakan agama dan mulai mengkafirkan mazab tertentu. Maka perwakilan komunitas ini juga mengarap supaya pemimpin daerah nantinya bisa menjamin perlindungan dalam menjalankan kehidupan agamanya.
Langkah kecil gereja-gereja di Gunungkidul diharapakan bisa menyegarkan pemahaman dan kepedulian akan masa depan bangsa dan menginspirasi bagi gereja-gereja Tuhan dalam mewujudkan kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia. (Kontributor: Pdt. Stefanus Iwan Listiyantoro Pendeta GKJ Sabda Adi Semanu, Gunungkidul)